Rabu, 14 Januari 2009

Filsafat Politik; pengantar pemikiran Soekarno vis a vis Soeharto

Pendahuluan
Dalam kajian ilmu Filsafat, kata politik pertama kali dikenal dari buku Plato yang berjudul Politeia atau yang dikenal dengan republik. Menurut beberapa ilmuan, pemikiran ini dianggap sebagai pangkal dari pemikiran politik yang berkembang kemudian.
Konsepsi politik cenderung mengaitkan politik dengan negara, yakni dengan urusan pemerintahan pusat maupun daerah. Dari asumsi ini penulis menyimpulkan bahwa hakikat politik adalah kegiatan yang berada pada sekitar institusi politik yang dimanifestasikan oleh aktor-aktor politik, seperti tokoh-tokoh pemerintahan yang ada pada tingkatan eksekutif maupun legislatif. Namun, secara empirik hakikat politik bermakna bahwa politik adalah segala aktifitas yang berhubungan dengan kekuasaan dengan tujuan untuk mempengaruhi, dengan jalan mengubah atau mempertahankan suatu bentuk atau tatanan sosial masyarakat.
Dalam Tulisan ini, ketika Soekarno berdiri sebagai penguasa negara Republik Indonesia, branding image yang dilakukan menggunakan teori-teori serta kombinasi dari strategi kepemimpinan dalam logika Jawa dan militer. Begitu juga dengan Soeharto, tidak jauh berbeda strategi yang digunakan untuk merebut, menggunakan serta mempertahankan kekuasaannya. Teori militer yang digunakan Soekarno dan Soeharto adalah; Pertama, Moderator pretorian, yakni sifat konservatif militer yang memiliki hak veto terhadap pemerintah sipil yang berkuasa hingga selalu dicurigai oleh militer. Keduan Pengawal Pretorian, yakni pembangkangan dan merong-rong kekuatan dari dalam hingga akhirnya dapat berkuasa.
Ketiga Penguasa Pretorian, yakni penguasa dengan logika nalar kekuasaan yang menjajah nalar berpikir serta perilaku dengan cara mendominasi rezim yang berkuasa. Hal yang sama terjadi pada Soekarno dan Soeharto, sekilas pemikiran beberapa tokoh di atas mempunyai kesamaan cara pandang sebagai acuan gerak langkah politik kedua presiden tersebut. Beberapa paparan singkat tentang teori di atas, penulis akan menjadikan teori tersebut sebagai pisau analisa untuk melihat permasalahan gerakan politik penguasaan negara Soekarno dan Soeharto sebagai eksposisi gerakan politik pada masanya.

Pembahasan
a. Soekarno dan Soeharto


Secara umum, eksposisi politik memberikan gambaran bahwa politik dalam kontek yang lebih luas mencerminkan akomodasi terhadap hasil realitas yang dialektis. Politik sering memberikan justifikasi terhadap kekuasaan. Menurut Soekarno, politik adalah proses machtsvorming dan machtsanwending, suatu ikhtiar “pembentukan kekuasaan-dan penggunaan kekuasaan”[1]. Definisi itu memang mengesankan, bahwa poltik adalah suatu kesibukan mengurusi kekuasaan, dalam suatu pergulatan, atau persaingan yang menegangkan.
Kepemimpinan Soekarno sebagai presiden atau kepala negara diawali dengan digelarnya konferensi para ulama yang disponsori oleh Menteri Agama Kyai Masykur, salah seorang tokoh NU. Konferensi ini menetapkan Soekarno sebagai kepala negara/presiden “Waliy al-amr al-dlarury bi al-syawkah”[2] (pemegang kekuasaan temporer dengan kekuasaan penuh). Pijakan berpikir yang digunakan mereka ini adalah bahwa negara telah terwujud dan bagaimanapun harus ada kepala pemerintah yang sah. Secara eksplisit, logika pendekatan fiqh telah dimainkan secara signifikan. Ketika Soekarno dianggap sebagai pemimpin yang sah, maka Soekarno berhak untuk menetapkan kebijakan-kebijakannya termasuk gagasan besar Demokrasi Terpimpin.
Soeharto sebagai presiden kedua, dengan segala kemampuan dan kecerdikannya telah mengubah konstelasi politik nasional. Perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Soeharto ditandai dengan adanya sidang kabinet pada tanggal 11 Maret 1966 yang dikepung oleh demonstrasi mahasiswa. Perebutan kekuasaan ini memuncak ketika Soeharto menerima Surat Perintah 11 Maret (SUPERSEMAR).[3] Pada saat itulah penelikungan terhadap Soekarno dilakukan. Selanjutnya Soeharto sang supersemar mengumumkan kepres terkait dengan pembubaran PKI yang disinyalir sebagai garda depan politik Soekarno.
Dalam dua kali masa pemerintahan presiden ini pula, bangsa Indonesia telah menjadi saksi sejarah atas perilaku politik kekuasaan yang bersifat otoriter dengan derajat yang berbeda walaupun sempat diselingi dengan empat tahun pemerintahan yang demokratis, yakni pada tahun 1955-1959[4], atau sistem pemerintahan Demokrasi Parlementer yang telah tercatat dalam sejarah sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia. Selama masa pemerintahan mereka, kecuali tahun 1955-1959, mereka menunjukkan pola kepemimpinan yang relatif sama, bahkan Soeharto juga mewarisi pandangan Soekarno dalam beberapa hal..
Dengan semangat revolusi, anti imperialisme dan kolonialisme dalam menata sistem pemerintahan dan membentuk karakter bangsa harus ternodai karena tuduhan-tuduhan lawan politiknya. Namun terlepas dari kepentingan pribadinya, Soekarno layak mendapatkan penghargaan dengan sikap politik dan kebudayaan sebagai nation and character building yang di jadikan senjata untuk menolak keberadaan imperialisme Barat. Grand designe ini mengidealkan sistem kepemimpinan yang satu, kepemimpinan yang berada pada sosok presiden sebagai penguasa dalam segala bidang.
Adalah Demokrasi Terpimpin sebagai jargon politik yang dikembangkan Soekarno untuk menata kemakmuran serta kesatuan Republik Indonesia. Sistem inilah yang diyakini Soekarno, agar rakyat Indonesia tetap dalam satu komando, sehingga meminimalisisir konflik etnis serta mampu mengilhami rakyat Indonesia dengan semangat persatuan dan kesatuan. Lebih dari itu, semangat Demokrasi Terpimpin sebenarnya adalah upaya membentuk karakter khas bangsa Indonesia yang mengedepankan musyawarh, mufakat serta gotong royong. Simbol Demokrasi Terpimpin mulai dominan sejak pertengahan tahun 1958[5]. Selain itu pula Soekarno juga melontarkan beberapa gagasan serta konsepsi Presiden sebagai penunjang konstitusi sistem tersebut. Tahapan-tahapan perjuangan yang dilakukan Soekarno pada akhirnya menjadi split politik yang harus dibayar mahal. Maka terjadilah kekacauan politik yang mengantarkan Soekarno pada tahap kehancuran, kehancuran bersama sistem dan strategi yang diciptakan olehnya.
Inilah awal ketegangan yang akan terus berlanjut dikemudian hari. Krisis politik ini dimatangkan lagi oleh krisis ekonomi sekitar 1954-1959[6]. Tingkat inflasi tinggi yang merupakan indikator makro stabilitas ekonomi, menurunkan tingkat daya beli yang menurunkan tingkat kesejahteraan. Tanpa harus memperdebatkan bagaimana tingkat kesejahteraan diukur, terlepas dari sempat atau tidaknya Soekarno untuk mengurus ekonomi, senyatanya persoalan kemiskinan belum bisa ditanggulangi. Krisis multi dimensional dengan segala varian yang melengkapinyapun terjadi.
Implikasi dari instabilitas politik dan ekonomi mengharuskan adanya rotasi kekuasaan dari era orde lama yang diwakili Soekarno menuju era orde baru yang diwakili Soeharto, meski tidak semata-semata persoalan itu, tapi secara garis besar rotasi kekuasaan itu bisa disimpulkan karena faktor tersebut. Sejarah mengungkapkan, bahwa langkah-langkah yang telah mengantarkan kondisi Indonesia saat itu menjadi fakta yang tidak terelakkan oleh masyarakat Indonesia dalam menghadapi era transisional.
Era Soeharto, yang disebut sebagai era Orde Baru sejak tahun 1968, dibangun atas dasar mekanisme carrot and stic[7]. Yakni, pemberdayaan atas lembaga-lembaga negara untuk menciptakan stabilitas politik nasional. Soeharto juga memaksakan depolitisasi terhadap masyarakat untuk membangun perekonomian yang kokoh[8]. Maka ketika para penguasa Orde Baru mengukuhkan diri sebagai penentu langkah kehidupan Indonesia yang penuh dengan rekayasa sejak 1966, maka, politik adalah suatu yang dikecam dan diharamkan. Satu alternative dari para penguasa Orde Baru adalah depolitisasi terhadap masyarakat.
Jargon-jargon politik yang diterjemahkan melalui sendi-sendi kehidupan masyarakat semakin mewarnai langgam politik Indonesia. Namun, sekuat dan sehebat apapun kekuatan politik Soeharto dalam mengendalikan kekuasaan negara akhirnya runtuh pula. Lambat laun, sistem yang diciptakan Soeharto mulai rapuh dan menjadi bom waktu bagi Soeharto sendiri. Kejatuhan Soeharto merupakan hasil dari meningkatnya krisis legitimasi rezim Orde Baru. Krisis legitimasi terpusat pada friksi yang terus berlangsung di lingkaran elit penguasa dan meningkatnya gerakan oposisi dari bawah. Friksi internal elit mulai merusak keutuhan oligarki kekuasaan diakhir 1980-an[9]. Pada proses berikutnya, oligarki kekuasaan juga mulai terbelah dengan adanya batasan aktivitas politik yang dilakukan oleh oposisi kelas menengah. Namun, opini apapun yang mendasari pengunduran Soeharto, semua dapat disimpulkan karena krisis legitimasi sebagai konsekuensi yang harus diterima.
Bagaimanapun juga, yang lebih menarik dalam pembahasan ini adalah upaya perebutan kekuasaan dari generasi ke generasi. Gerakan politik penguasaan negara oleh dua pemimpin ini memang didukung oleh beberapa elemen penting, Soekrano maupun Soeharto hampir menggunakan strategi politik yang sama. Seperti mekanisme kontrol terhadap institusi-institusi politik dan lainnya selalu dilakukan untuk menopang kekuatan, baik untuk meraih maupun mempertahankan kekuasaan yang telah diraihnya. Praktik politik Demokrasi Terpimpin ala Soekarno dan developmentalisme ala Soeharto adalah sikap politik represif dan otoriter, kedua periode tersebut meninggalkan jejak negatif pada bangsa Indonesia.
Kepemimpinan politik pada era Soekarno dan Soeharto boleh dikatakan sama. Praktik politik dua presiden tersebut memang berangkat dari refleksi politik yang begitu panjang. Presiden Soekarno yang mewakili era Orde Lama memang mempunyai keinginan untuk menciptakan stabilitas politik guna mempertahankan persatuan dan kesatuan Negara Republik Indonesia. Demokrasi Terpimpin adalah tawaran alternatif setelah menemukan kebuntuan konstitusi (constitutional constraint) pada saat itu. Namun pada prosesnya justru terjebak pada benturan-benturan kepentingan politik yang ada. Strategi ini berbeda dengan apa yang dijadikan dasar Soeharto dalam politik penguasaan negara. Soeharto justru lebih menitik beratkan pada politik pembangunan yang mencakup seluruh sendi kehidupan masyarakat, terutama pembangunan di sektor ekonomi. Mind set tentang developmentalisme, selain mengantarkan Soeharto pada kejayaan Orde Baru selama 32 tahun lamanya, juga sebagai alat legitimasi atas sikap militer bahwa, stabilitas politik merupakan persyaratan dalam menjalankan roda pembangunan ekonomi.[10]

Analisis
b. Persamaan Gerakan Politik

Pada zaman Soekarno, menuntut keadilan itu kontra-revolusi. Pada zaman Soeharto, menuntut keadilan itu dilarang. Sebagai penguasa politik, keduanya mempunyai aspek persamaan yang signifikan, keduanya tampak begitu represif dalam menjalankan kekuasaannya.
Kepemimpinan Soekarno sebagai presiden/kepala negara diawali dengan digelarnya konferensi para ulama yang disponsori oleh Menteri Agama Kyai Masykur, tokoh NU, telah menetapkan Soekarno sebagai kepala negara “waliy al-amr al-dlarury bi al-syawkah”[11] (pemeganng kekuasaan temporer dengan kekuasaan penuh). Pijakan berpikir yang digunakan mereka ini adalah bahwa negara telah terwujud dan bagaimanapun harus ada kepala pemerintah yang sah. Secara eksplisit, logika pendekatan fiqh telah dimainkan secara signifikan. Ketika Soekarno dianggap sebagai pemimpin yang sah, maka Soekarno berhak untuk menetapkan kebijakan-kebijakannya termasuk gagasan besar Demokrasi Terpimpin.
Dalam politik penguasaan negara, bahkan pra dan pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959, secara konstitusional ia adalah kepala negara dari sebuah sistem politik presidensil, dan sebagaimana dalam pidatonya ia juga suka mengatakannya sebagai Penyambung Lidah Rakyat dan Pemimpin Besar Revolusi. Maka, apapun corak penilaian sejarah atau politik terhadap Dekrit Presiden 5 Juli 1965 sebagai cikal bakal terbentuknya sistem Demokrasi Terpimpin, secara empiris harus dikatakan juga bahwa dalam episode ini Soekarno dengan sadar menjadikan dirinya sebagai perpaduan dari legitimasi konstitusional dengan keharusan dan kesahihan ideologis. Karena itu, barangkali tidaklah terlalu berlebihan kalau dikatakan bahwa dari sudut kajian sejarah, episode Demokrasi Terpimpin bisa pula diperlakukan sebagai rumah kaca bagi penyelidikan kepemimpinan politik Soekarno.
Demokrasi Terpimpin ditandai dengan semakin kuatnya kedudukan politik Soekarno, TNI AD, dan PKI. Sebagai katalisator. Soekarno mengambil langkah perimbangan antara dua kekuatan politik agar terhindar dari kemungkinan terjadinya konflik. Ada kemungkinan koalisi ini melibatkan TNI AD sebagai benteng pertahanan sebagai wujud dari peran dan fungsi militer dalam politik kebangsaan. Semangat propaganda anti imperialisme dan neo-kolonialisme sebagai konstruksi mentalitas bangsa yang merdeka membutuhkan kekuatan revolusioner yang mendukung gagasan tersebut. Di sinilah Soekarno merangkul PKI untuk memperkuat dukungan politiknya. Bagaimanapun juga TNI harus merupakan sebuah kekuatan yang disegani di dalam maupun di luar negeri. Perjuangan merebut kembali Irian Barat adalah bukti bahwa TNI AD mempunyai peran penting dalam mempertahankan NKRI sebagai gerakan politik kebangsaan. Bukankah pula ancaman kekuatan anti-revolusioner, sebagaimana dirumuskan Manipol-USDEK (dokumen politik yang dikatakan Soekarno sebagai hadis-nya Pancasila) masih gentayangan? Sedangkan PKI bukan saja sebuah kekuatan revolusioner yang diyakini Soekarno bisa dijinakkan, tetapi juga sebuah partai yang dianggapnya bisa memahami orientasi pemikirannya.
Dalam kontek fiqh siyasyah, mempertahankan suatu bangsa dari kehancuran dan penjajahan adalah kewajiban seluruh ummat. Sebagaimana dalam Islam yang menganjurkan suatu kaum untuk berperang menyelamatkan orang-orang tertindas dan orang-orang lemah di muka bumi. Sebagaiman dalam Al-Quran disebutkan:[12]
وما لكم لا تقتلون فى سبيل الله والمستضعفين من الرجال والنساء والولدان الذين يقولون ربنا اخرجنا من هذه القرية الظالم اهلها واجعل لنا من لدنك وليا واجعل لنا من لدنك نصيرا
Dari sinilah Islam memberikan tanggung jawab politik kepada setiap umat yang hidup dalam satu daulah yang di pimpin oleh Imam (pemimpin) untuk membela rakyat tertindas atau terjajah. Selain untuk memerangi kezaliman sosial, seorang muslim juga dituntut untuk memerangi kezaliman politik dan bentuk kezaliman lainnya,[13] dan siapapun pelakunya. Menurut Soekarno dalam wasiatnya, bahwa “hak tak dapat diperoleh dengan mengemis, hak hanya dapat diperoleh dengan perjuangan”.[14] Atas dasar itulah perjuangan membentuk mentalitas rakyat dan bangsa yang merdeka (dalam bingkai kemerdekaan yang semestinya) agar terhindar dari disintegrasi yang diinginkan kolonialisme menjadi penting bahkan wajib.
Pandangan tentang sesuatu hal yang tiba-tiba menjadi wajib hukumnya untuk dilakukan sebagaimana dalam kaidah fiqh dijelaskan;[15]
مالا يتم الواجب الابه فهو واجب
Maka doktrin masyarakat kapitalis yang ditolak oleh Soekarno adalah mengabaikan hak-hak orang miskin dan menjajah suatu bangsa. Tanpa mentalitas dan i’tikad revolusioner semuanya tidak sempurna dilakukan melainkan dengannya, maka konstruksi mentalitas yang mandiri dan merdeka (free will) sebagai wujud dari nasionalisme menjadi wajib hukumnya.
Namun dengan kemunculan dekrit sebagai cikal dari Demokrasi Terpimpin, sentralisasi kekuasaan dalam kontek hubungan pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah dan pengertian yang luas semakin tak terbendung. Sebagai bukti, Soekarno telah mengeluarkan kebijakan yang mengarah ke sentralisme kekuasaan. UU No. 1 Tahun 1957 yang memiliki roh otonomi luas dicabut, dan digantikan dengan Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959 yang cenderung bersifat sentralistik.[16] Dengan adanya kebijakan semacam ini, menurut penulis, daerah tidak diberikan kebebasan dalam mengatur rumah tangganya sendiri, segalanya ditentukan oleh pemerintahan pusat. Termasuk dalam pemilihan kepala daerah diputuskan oleh Presiden dan Mendagri. Lembaga presiden memiliki beberapa otoritas dalam mengatur segala bentuk pranata kenegaraan, kedaerahan dan segi kehidupan lain. Akhirnya, dis-fungsi kekuasaan serta otoritas lembaga legislatif menjadi suatu hal yang tidak terbantahkan.
Kecenderungan untuk melestarikan sentralisasi kekuasaan terus berlanjut pada masa Orde Baru Soeharto. Kondisi politik yang buruk menjadi alasan yang rasional bagi rezim tersebut untuk tetap menerapkan kebijakan pendahulunya yang sentralistik. Dalam rangka menerapkan politik stabilitas tersebut, rezim Soeharto menggunakan dua pendekatan. Pertama, peningkatan instrumen kekerasan/militer. Rezim ini seringkali menggunakan pendekatan keamanan dalam penyelesaian setiap masalah antara negara dan masyarakat. Kedua, penataan birokrasi menjadi bergantung ke atas. Hal ini untuk memastikan adanya loyalitas tunggal.
Kehidupan bernegara menjadi semakin sentralistik ketika dikeluarkan UU No. 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah.[17] Pada tahun 1974, dengan diberlakukannya undang-undang tersebut, Orde Baru membentuk landasan legal bagi pola dominasi pusat ini.[18] Dengan undang-undang inilah Soeharto dengan Orde Baru menetapkan hubungan antara pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagai langkah baru yang memperkuat kecenderungan sentralisasi yang telah dimulai oleh Soekarno di era Orde Lama. Undang-undang yang berlaku selama pemerintahan rezim Orde Baru ini pada prinsipnya tidak pernah mengakui eksistensi pemerintah daerah. Segalanya bergantung ke atas. Elit-elit daerah pada masa rezim ini hanyalah merupakan boneka yang sepenuhnya dikendalikan oleh pemerintah pusat.
Perihal konfigurasi politik dikategorikan sebagai politik non demokratis. Tidak jauh berbeda atau bahkan sama persis antara rezim Soekarno dan rezim Soeharto. Dalam dua periode ini, otoritarianisme politik berada pada tingkatan elit yang berada di pusat, sedangkan di daerah hanyalah merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah pusat untuk menjadi police maker dalam program perjuangan politik pemerintah atau kedua rezim tersebut.
Sentralisasi kekuasaan pada dua periode pemerintahan mempunyai dampak signifikan, seluruh instrumen kenegaraan telah tereduksi dan menjadi pendukung bagi adanya loyalitas tunggal. Dalam hal birokrasi misalnya, lintasan sejarah politik Indonesia mencatat sejak zaman pra kemerdekaan, Orde Lama Soekarno, Orde Baru Soeharto, ada indikasi yang menunjukkan kecenderungan pola berulang tentang birokrasi dan politik yaitu agar birokrasi berpolitik atau menjadi mesin politik kekuasaan bagi para penguasa. Pada dasarnya, birokrasi yang ideal adalah menjadi fasilitator dan pelayan publik yang professional untuk semua golongan.[19] Namun, secara factual sejak era Orde Lama Soekarno dan era Orde Baru Soeharto, birokrasi relatif menjadi instrumen politik untuk mencapai logika kekuasaan, yaitu, meningkatkan, memelihara
dan memperluas kekuasaan aktor, elite atau faksi politik tertentu.
Pada era Orde Lama Soekarno, birokrasi cenderung menjadi faksi-faksi dan mesin politik bagi PNI, NU dan lain-lain. Politisasi birokrasi yang berwujud pengaplingan atau pengisian jabatan pegawai di departemen-departemen oleh partai-partai politik. Departemen Dalam negeri dikapling oleh orang-orang dari PNI, sedang Departemen Agama dikapling oleh orang-orang dari partai NU.[20] Profesionalitas birokrasi semakin jauh dari peran dan fungsi sebenarnya, karena secara kelembagaan birokrasi sudah terkooptasi oleh kepentingan elit partai politik.
Meski dengan adanya rotasi kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto, orientasi birokrasi tetap tidak berubah. Pada awal pemerintahan Orde Baru Soeharto, pegawai negeri sipil menjadi kekuatan politik. Untuk mempertahankan status quo, pemerintah menggunakan Golongan Karya sebagai salah satu penopangnya. Birokrasi terjebak pada monoloyalitas yang mendukung Golkar dalam beberapa pemilihan umum. Selain itu, pada dua periode pemerintahan (Soekarno-Soeharto) birokrasi mempunyai peran yang penting dan sangat menonjol seiring dengan melemahnya kekuatan partai politik dan parlemen. Sentralisasi kekuasaan didukung penuh oleh sistem birokrasi yang berpolitik dan menjadi instrument hegemonik berupa aparatur ideologis yang mendukung otoritarianisme.
Secara politik, birokrasi adalah ruang pembinaan politik, secara ekonomi, birokrasi adalah penopang pembangunan ekonomi nasional.[21] Sebagai hasilnya, proses demokratisasi terhambat, kesadaran rakyat akan hak politiknya cenderung dibatasi, dan kontrol partai politik secara vertikal tidak memiliki ruang sedikitpun. Secara universal, peranan serta fungsi birokrasi pada dua periode pemerintahan ini tidak memiliki perbedaan signifikan.
Namun, di balik kesan kuat adanya keterputusan antara Orde Lama dan Orde Baru, terdapat pula beberapa kontinuitas yang cukup penting. Pertama, dua-duanya sangat anti terhadap hal-hal yang dapat menyebabkan disintegrasi bangsa, dua-duanya dapat dikatakan sangat nasionalis dalam hal itu. Dengan demikian, baik Soekarno maupun Soeharto amat mementingkan retorika persatuan dan kesatuan.[22] Bahkan, sejak 1956, Soekarno sudah menuduh partai politik di Indonesia pada waktu itu sebagai biang keladi terpecah-belahnya bangsa. Bahkan dalam pidatonya, Soekarno sempat mengajak rakyat untuk mengubur partai-partai yang dianggap terlalu mementingkan kepentingan kelompok dan abai terhadap kepentingan bangsa negara yang lebih luas.
Pada prinsipnya, partai politik berfungsi sebagai kontrol pemerintahan suatu bangsa, namun jika keberadaan partai politik hanya menjadi sampah bagi pembangunan fondasi persatuan dan kesatuan bangsa yang merdeka, maka menghilangkannya adalah suatu keharusan. Tapi jika keberadaan partai politik menjadi penting bagi pembangunan bangsa serta kemaslahatan bagi rakyat maka membubarkannya adalah kemungkaran. Dalam Islam perintah untuk berbuat kebajikan dijelaskan sebagaiman yang telah diidentifikasi oleh Allah melalui firman-Nya[23]:
وامروا بالمعروف ونهوا عن المنكر ولله عقبة الامور
Dengan mengubur partai politik, Soekarno menganggap bahwa bangsa Indonesia dapat kembali kepada rel revolusi yang sejati dengan semangat persatuan. Soeharto bahkan dikenal lebih anti terhadap partai politik, dengan merekayasa sebuah sistem yang pada dasarnya didominasi oleh satu partai negara atau partai pemerintah, yakni Golkar, dan dua partai pajangan yakni, Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia.
Rekayasa itulah adalah penyimpangan yang tidak dibenarkan, sebab pada prinsipnya partai politik adalah alat modern untuk menghindari perilaku penguasa yang dispotik. Islam melarang penyimpangan-penyimpangan terlebih pemimpin yang melakukannya. Dari penyimpangan-penyimpangan itulah gerakan “Amar ma’ruf nahi mungkar” menjadi suatu keharusan, dalam kontek kekinian langkah itu dapat kita tempuh dengan menggunakan kekuatan partai politik sebagai fungsi kontrol terhadap penyimpangan yang telah dilakukan oleh seorang pemimpin/penguasa.
Pembubaran partai demi persatuan dan kesatuan bangsa dibenarkan dalam kontek pembentukan NKRI sesuai dengan amanah UUD 1945, di samping itu keterlibatan partai politik pada awal kemerdekaan selalu terjebak pada “power oriented”. namun sikap anti terhadap partai politik adalah wujud penyimpangan. Karena anti terhadap partai politik tidak lebih dari anti terhadap kemaslahatan ummat. Dalam perspektif Fiqh as-Siyasah atau (al-Fiqh as-Siyasyi), upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dirumuskan dalam suatu kaidah[24]:
تصرف الإمام على الرعـية منوط بالمصلحـﺔ

Teori ini mengatakan bahwa, kepala negara atau pemerintah sebagai pemegang kekuasaan eksekutif (as-sulthan at-tanfidziyyah) memiliki wewenang penuh untuk mengambil kebijakan yang menyanngkut kehidupan publik berdasarkan pertimbangan kemaslahatan ummat. Menurut Abd al-Wahab Khalaf, kaidah di atas dapat dijadikan sebagai landasan teori hukum atau referensi untuk pengambilan keputusan hukum aktual, apabila memenuhi tiga kriteria berikut ini. Pertama, maslahah itu bersifat essensial, yakni kepentingan yang secara praksis dapat mewujudkan kesejahteraan umum dan mencegah timbulnya kerusakan. Kedua, maslahah itu ditujukan pada kepentingan rakyat banyak, bukan individu. Ketiga, maslahah itu tidak bertentangan dengan ketetentuan atau dalil-dalil umum nash.[25] Setidaknya kepentingan esensial yang diperlukan di atas sejalan dengan dirumuskannya lima tujuan syari'ah meskipun tidak tercover secara Kaffah, lima tujuan tersebut yaitu: memelihara kemaslahatan agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan, dan memelihara harta dan kehormatan.[26]
Terlepas dari kebenaran atau sebaliknya, inilah persamaan konsep dan gerakan politik sebagai upaya bina bangsa (building nation) yang telah mereka lakukan. Tapi tampaknya, perubahan sistem atau rezim politik tidak membawa dampak bagi perubahan kehidupan sosial politik di Indonesia. Padahal, sebenarnya tidaklah demikian. Perubahan tatanan baru jelas memberikan sebuah harapan baru pula. Mungkin tidak untuk Indonesia, meski dengan adanya rotasi kekuasaan, rezim yang ada masih tetap otoriter. Atas dasar inilah, kita perlu mencermati dan mengartikulasikan gerakan politik agar tetap berada pada visi kebangsaan sesuai dengan konsep al-Maslaha al-Mursalah dan tetap berpegang teguh pada prinsip baldatu thayyibatun wa rabbun ghafur dan amar ma’ruf nahi mungkar dalam kerangka cita-cita masyarakat Indonesia secara keseluruhan.[27] Oleh karenanya, agenda demokratisasi, toleransi politik dan agama, egalitarianisme sosial-ekonomi dan partisipasi politik dapat terwujud.

c. Perbedaan Gerakan Politik
Setelah revolusi nasional dan perang kemerdekaan diakhiri dengan diakuinya kedaulatan negara Indonesia, perjalanan dan pergolakan sosial dan politikpun dilanjutkan. Sebagai sebuah negara-bangsa yang berdaulat, secara otomatis Indonesia membutuhkan seorang pemimpin. Dari sinilah Soekarno dipilih sebagai presiden pertama RI secara aklamasi. Dipilihnya Soekarno sebagai Presiden tidak lebih karena keyakinan bahwa dialah yang mampu bernegosiasi dengan pihak penjajah dalam upaya bina bangsa (nation building). Soekarno sebagai Presiden pertama RI dikenal sebagai orator ulung yang dapat berpidato secara amat berapi-api tentang revolusi nasional, neokolonialisme dan imperialisme. Ia juga amat percaya pada kekuatan massa, kekuatan rakyat. Namun Soeharto sebagai Presiden kedua RI sama sekali bukan orator, jauh lebih tertutup, serta dikenal sebagai orang yang-meskipun pemerintahannya penuh dengan kasus kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN)-memimpin proses bergabung kembalinya Indonesia dengan sistem kapitalisme internasional, setelah sempat hendak diputus oleh pendahulunya. Ia juga terkesan curiga dengan kekuatan rakyat: kebijaksanaan massa mengambang Orde Baru didasari premis bahwa rakyat harus dipisahkan dari politik.
Soeharto dengan segala kemampuan dan kecerdikannya telah mengubah konstelasi politik nasional. Perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Soeharto ditandai dengan adanya sidang kabinet pada tanggal 11 Maret 1966 yang dikepung oleh demonstrasi mahasiswa. Instruksi jendral Soeharto untuk menangkap menteri dalam sidang kabinet tersebut adalah upaya perebutan kekuasaan. Perebutan kekuasaan ini memuncak ketika Soeharto menerima Surat Perintah 11 Maret (SUPERSEMAR).[28] Pada saat itulah penelikungan terhadap Soekarno dilakukan. Selanjutnya Soeharto sang supersemar mengumumkan kepres terkait dengan pembubaran PKI yang disinyalir sebagai garda depan politik Soekarno. Menurut sejarawan Suwarno (dari Sanata Dharma), Supersemar yang bersifat sementara untuk memulihkan dan menjaga stabilitas keamanan adalah mandat militer, mandat untuk melakukan operasi pengamanan, bukan mandat politik.[29] Soeharto telah menggunakan mandat militer sebagai mandat politik. Penyimpangan inilah yang dilakukan sebagai alat untuk mempengaruhi MPRS sehingga dia diberi wewenang sebagai pejabat presiden. Peralihan kekuasaan dengan cara ini yang disebut oleh pakar Hukum Tata Negara Sri Sumantri dengan kudeta.
Dari sinilah visi Indonesia sebagai bangsa berdaulat telah berubah. Teriakan revolusioner terhadap IMF, World Bank dan Kapitalisme Barat dengan kalimat “go to hell with your aid” adalah manifestasi politik dan kebudayaan (manipol-manikebu) sebagai grand design Soekarno untuk mewujudkan nation and character building. Dengan sadar Soekarno mendidik rakyatnya untuk tidak menjadi bangsa pengemis. Namun, Soeharto sebagai penerus justru mendefinisikan diri dan membawa Indonesia semakin bergantung pada kekuatan modal asing. Selama kurang lebih dari 32 tahun rezim Orde Baru Soeharto dengan trias politika Soeharto yang mencakup kekuatan ABRI, Birokrasi dan Golkar (ABG) sebagai kendaraan politiknya telah mengajarkan kita hidup mengemis utang dan bergantung pada kapitalisme Barat. Dengan cara itu rezim Orde Baru Soeharto menentukan pembangunan ekonomi dan stabilitas politik sebagai prioritas utama dan bahkan sebagai pembenaran dirinya.[30]
Dari beberapa perbedaan mendasar di atas, sebagai competiting theory atau teori pembanding dari periode pasca 1965, tipologi politik Orde Baru Soeharto adalah perpolitikan birokrasi yang digunakan sebagai instrumen kekuasaan. Menurut Harold Crouch, perpolitikan birokratik rezim Soeharto mengandung tiga ciri utama. Pertama, lembaga politik yang paling dominan adalah birokrasi. Kedua, lembaga-lembaga politik lain seperti parlemen, partai politik dan kelompok-kelompok kepentingan berada dalam keadaan lemah sehingga tidak mampu memberi langkah perimbangan dalam fungsi kontrol vertikal terhadap kekuasaan birokrasi. Ketiga, masa di luar birokrasi secara politik adalah pasif, realitas masyarakat ini banyak dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah, di samping juga disebabkan oleh kelemahan-kelemahan partai-partai politik[31] yang menyebabkan negara mampu melakukan penetrasi ke dalam masyarakat dan mengatur segala lini kehidupan. Dari analisis di atas dapat disimpulkan bahwa, di bawah pemerintahan Soeharto negara menjadi sedemikian kuat adanya dibanding pada saat negara berada di bawah pemerintahan Soekarno.
Dari realitas tersebut, akhirnya Liddle mencoba membuat pyramida kekuasaan di Indonesia yang terbagi dalam tiga jajaran utama, yaitu; Presdien dengan segala atributnya, Angkatan Bersenjata dan Birokrasi. Piramida kekuasaan inilah yang memaksa tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh institusi-institusi politik tersebut adalah menempatkan diri dalam kontek interaksi di antara ketiga institusi utama tersebut, bahkan menjadi instrumen penopang bagi pilar politik pemerintah Orde Baru Soeharto. Inilah yang menyebabkan terjadinya depolitisasi yang sangat efektif terhadap situasi politik yang ada. Menurut subyektifitas penulis, depolitisasi ini dilakukan untuk mencapai dua tujuan. Pertama, agar Soeharto dan pemerintah Orde Baru dengan mudah membentuk format politik yang sesuai dengan kehendaknya. Kedua, sebagai dasar terwujudnya stabilitas politik yang sangat diperlukan dalam rangka mensukseskan pembangunan ekonomi nasional. Dalam konteks ini, terciptanya iklim politik yang stabil adalah pra syarat bagi keberhasilan pelaksanaan pembangunan ekonomi nasional.
Menurut Myron Weiner, krisis partisipasi politik adalah suatu keadaan yang ditandai oleh anggapan tidak sah dan tidak legalnya tuntutan serta partisipasi aktif masyarakat dalam politik dan pemerintahan.[32] Sehingga berbagai berbagai macam bentuk oposisi yang bertindak sebagai kekuatan penyeimbang dan kontrol sosial masyarakat dalam penyampaian kritik, petisi, unjuk rasa mendapat tekanan yang sangat represif dari pemerintah melalui instrumen birokrasi sebagai under bow partai politik yang berkuasa. Praktis, setelah hancurnya pemerintahan Soekarno atau pasca tahun 1965, terjadi perubahan yang mencerminkan surutnya peranan partai politik, terlebih setelah tahun 1971[33], dan pemerintahan Soeharto juga berhasil mengarahkan masyarakat terhadap masalah-masalah pembangunan ekonomi. Dari beberapa perubahan secara umum, pemerintah ternyata telah berhasil mengubah sifat perdebatan politik menjadi pragmatis.
Perubahan etos di atas dapat dilihat apabila kita memperhatikan bagaimana politik pada dua periode tersebut dibicarakan. Pada tahun 1945-1965 Indonesia dalam situasi perang dingin, Indonesia menganut sikap politik bebas aktif sekaligus sebagai pemimpin dalam perjuangan melawan kekuatan kolonialisme dan neo-kolonialisme. Dalam situasi politik inilah sebuah paradigma konflik yang melihat realitas politik dan tata dunia terdiri atas pasang-pasangan konflik yang antagonistik, seperti kekuatan revolusioner melawan kekuatan kontra-revolusi, NEFO melawan Oldefo, perjuangan merebut Irian Barat dari Belanda dan konfrontasi seputar isu neo-kolonialisme dengan pembentukan Negara Federasi Malaysia sebagai proyek yang ditentang keras oleh Soekarno. Ekses dari ketegangan politik Indonesia dengan Malaysia akhirnya berujung pada keterputusan hubungan diplomatik dan memuncak dalam konfrontasi dalam slogan “Ganyang Malaysia”.
Sekali lagi, tentu ada perbedaan-perbedaan yang penting antara visi Soeharto dan Soekarno. Setidak-tidaknya retorika kekuasaan Orde Baru Soeharto di masa awal dibumbui dengan jargon-jargon teori modernisasi sebagai replika dari kolonialisme Belanda. Ironisnya, hal ini terjadi meskipun sistem politik yang hendak dibangun bercorak kepribadian nasional yang khas. Sebaliknya, retorika Soekarno seperti biasa dibumbui oleh jargon-jargon revolusioner yang cenderung romantis dan yang menekankan bersatunya pemimpin dengan rakyat.
Pada akhirnya, penulis tidaklah terlalu sulit untuk menemukan banyak kontinuitas antara Demokrasi Terpimpin sebagai gerakan politik Soekarno dan Demokrasi Pancasila-sebagai gerakan politik Soeharto, dengan perbedaan bahwa Soekarno mementingkan politik mobilisasi massa, sedangkan Soeharto justru sebaliknya. Perbedaan kedua adalah simpati Soekarno pada gerakan-gerakan anti-imperialisme, dan mungkin sebagai salah satu konsekuensi, penerimaannya pada Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai aktor politik yang sah. Soeharto sendiri menjalankan pembangunan bercorak kapitalis, termasuk dengan merangkul kekuatan-kekuatan kapitalisme terdepan di dunia, dan justru telah menutup arena politik untuk kekuatan komunisme.
Dari beberapa perbedaan dan persamaan di atas, keduanya cenderung menampilkan antithesa untuk sebuah perubahan, seperti slogan Merdeka atau Mati yang menjadi propaganda Soekarno dan slogan Politik No-Ekonomi Yes diawal kekuasaan Soeharto. Di yakini atau tidak, bahwa keduanya sangat ampuh sebagai obat untuk menyembuhkan penyakit yang tengah lama dideritanya. Perancis di bawah Louis XVI pasca revolusi, Jepang dan Jerman pasca Perang Dunia II juga mengambil sikap yang sama seperti yang ditampilkan Soekarno dan Soeharto sehingga disorientasi bangsanya dengan cepat bisa diakhiri.
Demikianlah, Soekarno dan Soeharto adalah masa lalu dengan segala perbedaan yang lengkap dengan kekurangan serta kelebihannya. Menurut penulis tidak ada seorang tokohpun yang bisa dibidik pemikirannya secara genuin tanpa menganut satu paham tokoh sebelumnya karena dalam kenyataannya banyak tokoh yang mengadopsi suatu paham tertentu untuk masalah tertentu dan paham lain untuk masalah yang lain pula. Dalam sabda nabi yang diriwayatkan oleh Abu Daud juga dijelaskan bahwa;[34]
من تشبه بقوم فهو منهم
Paparan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dapat disimpulkan bahwa betapa berharganya memiliki pola pikir dan sistem politik sendiri. Dengan demikian, tidak pula terlarang meniru suatu bentuk sistem dari orang lain dengan memperhatikan dua catatan; Pertama, dalam persoalan tersebut didapati kemaslahatan yang sebenarnya bagi umat, dan tidak membahayakan jika dalam pelaksanaannya terdapat sedikit mafsadat. Yang penting manfaat itu lebih besar dari madlaratnya. Kedua, apa yang diambil dari orang lain itu dimodifikasi dan dikembangkan sedemikian rupa sehingga sesuai dengan nilai-nilai tradisi yang terpelihara[35] , khususnya bagi Indonesia sebagai bangsa-negara yang telah berdaulat.

Penutup
Jika mengaca pada teori al-maslaha al-Mursalah, gerakan politik keduanya masih jauh dari apa yang diharapkan. Akan tetapi dalam kontek ini Soekarno lebih unggul dengan gagasan-gagasan besar yang terangkum dalam Tri Sakti yakni bebas aktif dalam politik, berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan sebagai nation and character building dari pada Soeharto yang telah membawa bangsa ini menjelma sebagai replika atau bahkan menjadi pengemis dan bergantung pada Kapitalisme Barat.
Lebih ironis lagi karena langkah ini cenderunng merusak peradaban, politik serta kebudayaan asli bangsa Indonesia. Setidaknya Soekarno dengan segala atributnya secara inplisit telah menampilkan kepentingan esensial yang diperlukan di atas sejalan dengan dirumuskannya lima tujuan syari'ah meskipun tidak tercover secara kaffah, lima tujuan tersebut yaitu: memelihara kemaslahatan agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan, dan memelihara harta dan kehormatan.


















DAFTAR PUSTAKA


Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Departemen Agama RI, 1980.
Wahid, Marzuki, Fiqh Madzhab Negara; Kritik atas Politik Hukum Islam di Indonesia,Yogyakarta: LKiS, 2001.
Abdillah, Masykuri, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi 1966-1993, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999.
Abdullah, Taufik, 50 Tahun Indonesia Merdeka, Jakarta: PT. Citra Persada, 1995
----------, Dekrit Presiden, Revolusi dan Kepribadian Nasional, harian kompas, tanggal 1 Juni 2001
Adam, Asvi Warman, “Pengendalian Sejarah Demi Kekuasaan”, Seribu Tahun Nusantara, Jakarta, 2000
As’ad, Muhammad Uhaib, “Dalam Hegemoni Negara dan Legitimasi Kekerasan”, Penjara-Penjara Politik Indonesia, Yogyakarta: LPSAS Prospek, 1999
Bob Hering, Soekarno Bapak Indonesia Merdeka, Jakarta: Hasta Mitra, 2003
Budiman, Arif, Teori Negara; Negara, Kekuasaan dan Ideologi, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002
Dhakidae, Daniel dkk, Agama dan Negara; Perspektif Islam, Katholik, Hindu, Budha, Konghucu, Protestan, Yogyakarta: Interfidei, 2002
Donnald K. Emmerson, Indonesia Beyond Soeharto; Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001
Dwipayana, G, dkk, Soeharto; Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, Jakarta: Citra Lamtoro Gung Persada, 1989
Effendi, Bahtiar, Teologi Baru Politik Islam; Pertautan Agama, Negara dan Demokrasi, Yogyakarta: Galang Press, 2001.
Feillard, Andrée, NU vis-a-vis NEGARA: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, Yogyakarta: LkiS, 1999.
Gaffar, Affan, Politik Indonesia; Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004
Hadiz, Vedi R, Soekarno, Persatuan Nasional, Orde Lama, dan Orde Baru, Harian Kompas, Tanggal 1 Juni 2001
Hasyim Wahid dkk, Telikungan Kapitalisme Global dalam Sejarah Kebangkitan Indonesia, Yogyakarta: LKiS, 1999.
Hermawan Eman, Politik Isu Tunggal; Jalan Buntu Gerakan Masyarakat Sipil, Yogyakarta: KLIK-R, 2002.
Honna, Jun, Serdadu Memburu Hantu;Ideologi Kewaspadaan di Senjakala Kekuasaan Orba, Yogyakarta: CIA, 2006
J.A, Denny, Manuver Elit, Konflik dan Konservatisme Politik, Yogyakarta: LKiS, 2006.
Kadi, Saurip, Menata Ulang System Demokrasi dan TNI Menuju Peradaban Baru, Jakarta: PARRHESIA, 2006
Ma'arif, Ahmad Syafi'i, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965, Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
----------, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, Jakarta: LP3ES, 1996.
[1] Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir 5, cet. ke-I, (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2002), hlm. 69

[2] Bahtiar Effendi, Teologi Baru Politik Islam; Pertautan Agama, Negara, dan Demokrasi, cet. ke-I (Yogyakarta: Galang Press, 2001), hlm. X
[3] Harsutejo, G 30 S, Sejarah yang Digelapkan; Tangan Berdarah CIA dan Rejim Soeharto, (Jakarta: Hasta Mitra, 2003), hlm. 137.

[4] Daliso Mangunkusumo dkk, Penjara-Penjara Politik Indonesia, cet. Ke-I, ( Yogyakarta: LPSAS Prospek, 1999), hlm. 62

[5] Herbert Feith dkk , Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, cet. Ke-I, (Kakarta: LP3S, 1988), hlm. 84.

[6] Asih dkk, Membaca Sejarah Pergerakan; Menuntaskan Transformasi Demokratik, Tradem, Edisi ke-V, (Juli 2003), hlm. 28.
[7] Affan Gaffar, Politik Indonesia; Transisi Menuju Demokrasi, cet. ke-IV, (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 148.

[8] Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir 5,_ hlm. 75.

[9] Eric Hiariej, Materialisme-Sejarah Kejatuhan soeharto, Pertumbuhan dan Kebangkrutan Kapitalisme Orde Baru, cet. I (Yogyakarta: IRE Press, 2005). hlm, 293
[10] Jun Honna, Serdadu Memburu Hantu;Ideologi Kewaspadaan di Senjakala Kekuasaan Orba, cet. I (Yogyakarta: CIA, 2006). hlm, 5
[11] Bahtiar Effendi, Teologi Baru Politik Islam; Pertautan Agama, Negara, dan Demokrasi, cet. ke-I, (Yogyakarta: Galang Press, 2001), hlm. X
[12] An-Nisa’ (4): 75

[13] Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, jilid 2, cet. ke-3, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), hlm. 907

[14] Harsutejo, G30-S, Sejarah yang Digelapkan; Tangan Berdarah CIA dan Rejim Soeharto, (Jakarta, Hasta Mitra, 2003), hlm. 156

[15] Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer,…. hlm. 959
[16] Soegeng Sarjadi Dkk, Meneropong Indonesia 2020; Pemikiran dan Masalah Kebijakan,, cet. ke-I, (Jakarta; SSS, 2004), hlm 95

[17] Ibid., hlm. 96

[18] Donnald K. Emmerson, Indonesia Beyond Soeharto; Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi, cet. ke-2, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), hlm. 133

[19] Syaufan Rozi, Zaman Bergerak, Birokrasi Dirombak: Potret Birokrasi dan Politik di Indonesia, cet. ke-I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 2

[20] Ibid., hlm. 3

[21] Ibid., hlm. 4

[22] Vedi R Hadiz, dalam 100 Tahun Bung Karno, Soekarno, Persatuan Nasional, Orde Lama, dan Orde Baru, harian kompas, tanggal 1 Juni 2001.

[23] Al-Hajj (22) : 41
[24] Umaruddin Masdar dkk, Partai Advokasi; Wacana, Keberpihakan dan Gerakan, cet ke-I (Jogjakarta; KLIK-R, 2004), hlm 12

[25] ibid
[26] ibid

[27] Bahtiar Effendi, Teologi Baru Politik Islam; Pertautan Agama, Negara, dan Demokrasi, cet. ke-I (Yogyakarta: Galang Press, 2001), hlm. 32
[28] Harsutejo, G 30 S, Sejarah Yang Digelapkan; Tangan Berdarah CIA dan Rejim Soeharto, (Jakarta, Hasta Mitra, 2003), hlm. 137

[29] Ibid, hlm. 139

[30] Donnald K. Emmerson, Indonesia Beyond Soeharto; Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi, cet. ke-2, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), hlm. 188

[31] Syaufan Rozi, Zaman Bergerak, Birokrasi Dirombak: Potret Birokrasi dan Politik di Indonesia,……hlm 21

[32] Ibid., hlm 23

[33] Herbert Feith dan Lance Castles, Pemikiran Politik Indonesia 1945-1966 , cet. ke-1, (Jakarta:LP3ES,1988), hlm. xxii


[34] Abu Daud, Al-Ausath, (Libanon: Da>r al-Fikr, 1991), juz-2, hlm. 289

[35] Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, jilid 2,..........hlm. 953

Sebuah Buku Heddy Shri Ahimsa-Putra


Judul Buku : Strukturalisme Levi-Strauss : Mitos dan Karya Sastra
Penulis : Heddy Shri Ahimsa-Putra
Penerbit : Kepel Press, Yogyakarta, 2006
Tebal : xvi+493 Halaman
Levi-Strauss dan strukturalisme merupakan dua ikon yang tidak mungkin terpisahkan. Bahwa Levi-Strauss adalah sosok pemikir yang kemudian melahirkan inovasi baru mengenai strukturalisme, yang dari pemikirannya telah lahir penjabaran-penjabaran baru tentang strukturalisme. Di tangan Levi-Strauss strukturalisme berkembang dengan mengagumkan dan sempat menjadi trend of thought di Prancis, dan bahkan Eropa di tahun 1960-an. Hal ini kemudian menjadi tidak heran jika Levi-Strauss dianggap sebagai bapak strukturalisme Prancis.
Buku Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa Putra ini merupakan salah satu buku yang secara jelas dan tegas menggambarkan tentang peta pemikiran Levi-Strauss mengenai strukturalisme. Dalam buku ini terdapat berbagai pemaparan yang secara detail mengenai pemikiran strukturalisme Levi-Strauss. Karya sastra dan mitos merupakan salah satu objek yang dikaji secara eksplisit di dalam buku ini. Di samping hal-hal lain seperti penelitian beliau terhadap beberapa suku dan tradisi-tradisi masyarakat di belahan bumi Indonesia dan juga pemaparannya mengenai analisis struktural dan pokok-pokoknya.
Di dalam buku ini terbagi menjadi 10 bab dan 40 sub bab. Di mana dalam setiap bab menjabarkan mengenai masing-masing konsentrasi kajian mengenai pemikiran struikturalisme Levi-Strauss. Khusus untuk bab pertama hingga bab ketiga dalam buku ini menjelaskan secara komprehensif mengenai teori-teori struktulaisme Levi-Strauss. Kemudian dalam bab empat hingga bab sembilan dalam buku ini khusus berisi mengenai aplikasi teori strukturalisme Levi-Strauss terhadap mitos dan karya sastra yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Dan untuk bab terakhir bab sepuluh adalah bab penutup.
Untuk lebih jelas dan lebih detailnya dalam resume ini saya akan berusaha sedikit menjabarkan mengenai isi dari buku ini dan juga gagasan-gagasan besar yang disampaikan oleh Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra mengenai struktualisme Levi-Strauss. Berikut sedikit uraian mengenai buku ini :
Pertama, dalam bab pertama dalam buku ini diuraikan oleh penulis mengenai pendahuluan yang berisi pengantar dan riwayat kehidupan dari Levi-Strauss sosok pemikir utama strukturalisme. Dalam bagian pendahuluan pada bab pertama buku ini, Heddy Shri Ahimsa selaku penulis menjelaskan mengenai latar belakang penulisan buku ini dan faktor-faktor apa saja yang melandasi pentingnya penulisan buku ini.
Menurut Heddy, Levi-Strauss merupakan sosok pemikir utama yang mendapat tempat sangat terhormat dalam berbagai kajian disiplin ilmu, bukan hanya pada kajian antropologi, tetapi berbagai cabang disiplin ilmu lainnya seperti sastra, filsafat, sosiologi dan telaah seni. Melalui kesetiaan dan konsistensi pemikirannya, Levi-Strauss mampu menghadirkan suatu pemahaman yang baru mengenai berbagai kajian. Dari pemikiran-pemikirannya tersebut, Levi-Strauss semakin diakui dan dikagumi oleh para ilmuwan sosial-budaya di dunia barat, dan bahkan banyak diantaranya yang terpengaruh pada pemikiran Levi-Strauss.
Kepopuleran Levi-Strauss sebagai ilmuwan berbagai bidang disiplin ilmu ini, ternyata untuk konteks Indonesia tidak terlalu menarik dan tidak mudah untuk dipahami bagi kalangan ilmuwan sosial budaya di Indonesia. Hal ini menjadi sangat ironis bagi perkembangan keilmuan sosial budaya di Indonesia. Sosok Levi-Strauss yang telah melahirkan pemikiran-pemikiran baru mengenai kajian sosial-budaya dan melalui pemikirannya tersebut telah banyak mempengaruhi para ilmuwan barat, untuk konteks Indonesia sendiri ternyata masih sangat asing dan sangat susah untuk dipahami.
Atas dasar tersebut Heddy Shri Ahimsa melalui buku ini bermaksud memberanikan dirinya untuk sedikit memberikan pemahaman mengenai dasar-dasar paradigma strukturalisme dari Levi-Strauss dan beberapa gagasan-gagasan besar dari Levi-Strauss yang sangat berpengaruh dalam dunia sosial-budaya khususnya pada bidang antropologi.
Kemudian, dalam pendahuluan sub bab riwayat hidup Levi-Strauss. Heddy, memaparkan bagaimana perjalanan hidup Levi-Strauss dari semenjak lahir, keluarganya hingga riwayat keilmuannya. Levi-Strauss mempunyai nama lengkap Claude Levi-Strauss, berkebangsaan Prancis keturunan Yahudi. Dia lahir di Brussels, Belgia, pada tanggal 28 November 1905, dari ayah Raymond Levi-Strauss seorang seniman lukis dan Ibu Emma Levy. Pada tahun 1909 orang tua Levi-Strauss pindah ke Paris, Prancis.
Di masa mudanya Levi-Strauss lebih suka membaca buku-buku hukum dan filsafat, karena pada tahun 1927 Levi-Strauss masuk di fakultas Hukum Paris dan pada saat yang sama juga belajar filsafat di universitas Sorbonne. Kedua sekolah tersebut dapat diselesaikan dengan memuaskan oleh Levi-Strauss.
Kemudian sejak tahun 1935 saat Levi-Strauss mulai mengajar di Universitas Brazil, Levi-Strauss lebih tertarik terhadap kajian antropologi, terutama mengenai kajian etnologi. Di Brazil ini Levi-Strauss sering sekali mengadakan penelitian terhadap suku-suku pedalaman di Brazil. Dari penelitian-penelitian tersebut telah memberikan kesan yang mendalam terhadap Levi-Strauss dan atas dasar hal itulah yang membuat Levi-Strauss semakin total terhadap kajian antropologi yang akhirnya banyak sekali melahirkan pemikiran-pemikiran brilian tentang antropologi.
Kedua, pada bab ini Heddy Shri Ahimsa menjelaskan mengenai strukturalisme Levi-Strauss. Pada bagian pertama Heddy menjelaskan mengenai bahasa dan kebudayaan, kemudian linguistik struktural, makna struktur dan transformasi serta asumsi dasar.
Menurut Heddy, dalam kajian strukturalisme antropologi, Levi-Strauss banyak menggunakan model linguistik dalam kajiannya. Atas dasar tersebut, Heddy memaparkan mengapa Levi-Strauss banyak menggunakan linguistik sebagai model kajiannya. Dari sini Heddy menjelaskan mengenai pemahaman Levi-Strauss terhadap bahasa, kebudayaan dan linguistik.
Levi-Strauss memilih model linguistik untuk memahami gejala sosial-budaya. Ini berdasarkan pandangan bahwa bahasa merupakan kondisi dari kebudayaan. Ini dapat berarti dua hal. Pertama, bahasa merupakan kondisi kebudayaan dalam arti diakronis. Maksudnya, bahasa mendahului kebudayaan karena dari bahasalah manusia mengetahui kebudayaannya.
Bahasa menurut Levi-Strauss merupakan kondisi bagi kebudayaan karena material pembentuk bahasa adalah sama jenisnya dengan material pembentuk kebudayaan. Material tersebut adalah relasi-realsi logis, oposisi, korelasi dan lain sebagainya. Dari sudut pandang itu bahasa dapat dikatakan sebagai peletak fondasi bagi terbentuknya berbagai macam struktur yang lebih kompleks, lebih rumit yang sesuai aatu sejajar dengan aspek-aspek atau unsur kebudayaan yang lain.
Levi-Strauss mengabaikan pertanyaan, “apakah bahasa mempengaruhi kebudayaan, ataukah kebudayaan mempengaruhi bahasa?” Menurutnya, lebih tepat memandang bahasa dan kebudayaan sebagai hasil dari aktivitas yang mirip sama. Namun Levi-Strauss tetap mengingatkan bahwa untuk memahami korelasi antara bahasa dengan kebudayaan, harus memperhatikan tingkat atau level di mana kita mencari korelasi tersebut dan apa yang hendak dikorelasikan. Menurutnya, tidak ada korelasi penuh dan tidak ada korelasi yang sama sekali tak mungkin. “Tugas kita adalah menentukan apa hal-hal tersebut, dan pada tataran apa.” Jadi, jika terjadi semacam korelasi antara bahasa dan kebudayaan, itu bukanlah karena adanya semacam hubungan kausal (sebab-akibat) antara bahasa dan kebudayaan, tetapi karena keduanya merupakan produk dari aktivitas nalar manusia.

Dalam bab ini juga dijelaskan mengenai saran Levi-Strauss kepada para ahli antropologi untuk menggunakan model linguistik dalam menganalisis gejala-gejala sosial-budaya, atau mengambil bahasa sebagai model untuk memahami gejala kebudayaan pada umumnya. Levi-Strauss memandang fenomena sosial budaya, seperti pakaian makanan, mitos, dan sebagainya, seperti gejala kebahasaan, yaitu “kalimat” dan “teks”. Gejala itu mempunyai makna dan menunjukkan adanya pemikiran tertentu. Makna itu juga dihasilkan lewat semacam mekanisme artikulasi. Levi-Strauss menganggap teks naratif seperti mitos, sejajar dengan kalimat. Alasan pertama, teks adalah kesatuan yang bermakna, yang mengekspresikan pemikiran seorang pengarang. Kedua, teks itu diartikulasikan dari bagian-bagian, seperti kalimat diartikulasikan oleh kata yang membentuk kalimat.
Model linguistik yang digunakan sebagai media strukturalisme Levi-Strauss ini, sebagian terpengaruh dari pemikiran Ferdinand de Saussure seorang pakar bahasa dari Swiss. Menurut Heddy Shri Ahimsa setidaknya terdapat lima pandangan dari de Saussure yang menjadi dasar dari strukturalisme Levi-Strauss, yakni pandangan tentang (1) Signified (tinanda) dan signifier (penanda), (2) form (bentuk) dan content (isi), (3) langue (bahasa) dan parole (ujaran/tuturan), (4) synchronic (sinkronis) dan diachronic (diakronis), (5) syntagmatic (sintagmatik) dan associative (paradigmatik).
Ketiga, dalam bab ketiga ini Heddy Shri Ahimsa mengupas mengenai Levi-Strauss dan mitos. Di dalamnya menerangkan tentang mitos dan nalar manusia, mitos dan bahasa, mitos dan musik serta analisis struktural mitos : metode dan prosedur.
Heddy Shri Ahimsa menjelaskan bahwa Levi-Strauss menganalisis ratusan mitos dari benua Amerika dengan menggunakan model linguistik. Ia menguraikan dengan mendalam ciri-ciri bahasa yang dianggapnya sama dengan mitos. Dengan demikian, ia menyodorkan pembenaran untuk menggunakan metode analisi strukturnya. Beberapa persamaan yang dikemukakan Levi-Strauss. Pertama, bahasa adalah sebuah media, sarana untuk berkomunikasi menyampaikan pesan kepada orang lain. Demikian juga dengan mitos, mengandung pesan yang disampaikan melalui bahasa. Kedua, Levi-Strauss melihat mitos memiliki aspek langue dan parole. Bahasa sebagai langue berada dalam waktu yang dapat berbalik (reversible time), karena terlepas dalam perangkap waktu yang diakronis, beda dengan parole yang non-reversible time. Mitos menurut Levi-Strauss juga berada dalam dua waktu sekaligus, waktu yang bisa berbalik dan waktu yang tidak bisa berbalik. Contohnya, mitos selalu menggunakan kata, “konon dahulu kala”.
Selain persamaan dengan bahasa, mitos juga memiliki perbedaan. Kalau bahasa memiliki sisi sinkronis dan diakronis –yang harus dipisahkan dalam analisis— maka mitos memiliki sisi sinkronis, diakronis, dan pankronis (sinkronis dan diakronis sekaligus yang menyatu). Mitos dengan demikian memiliki struktur ganda, historis dan ahistoris sekaligus.
Selain dengan bahasa Levi-Strauss juga melihat persamaan mitos dengan musik.seperti istilah-istilah yang disampaikan Levi-Strauss tentang kemiripan antara mitos dengan musik adalah : interlude, rondo, sonata, symphony, movement, fugue, dan sebagainya. Menurut Levi-Strausspersamaan mitos dengan musik terletak pada cara kerjanya. Dia mengatakan bahwa mitologi menempati "an intermediary position between two diametically opposed types of sign system, musical language on the one hand and articulate speech on the other". Oleh karena itu, untuk dapat memahaminya, mitos perlu dipelajari dari dua perspektif ini, yakni perspektif bahasa tutur dan bahasa musik.
Keempat, dalam bab keempat ini Heddy Shri Ahimsa menerangkan mengenai Levi-Strauss dan analisis struktural dengan penjabaran terkait dengan kisah Oedipus, kisah si Asdiwal dan mitos-mitos tentang Indian Amerika.
Pertama mengenai analisis struktural Levi-Strauss dikaitkan dengan kisah Oedipus yang merupakan kisah yang berasal dari Yunani Kuno. Dalam penjabaran buku ini dijelaskan mengenai perjalanan Oedipus sebagai sosok utama dalam kisah Oedipus. Levi-Straussmenganalisa kisah Oedipus menganggap bahwa setiap mitos bisa dipenggal menjadi segmen-segmen atau peristiwa-peristiwa, dan setiap orang yang mengetahui mitos tersebut sependapat dengan segmen atau peristiwa tersebut. Dari sejumlah kisah Oedipus tersebut Levi-Strauss menemukan sejumlah segmen/miteme. Yang kemudian setelah ditemuikan miteme tersebut disusun oleh Levi-Strauss secara sintagmatis dan paradigmatis.
Sedangkan mengenai analisa Levi-Strauss terhadap kisah si Asdiwal, Levi-Strauss melihat bahwa dalam kisah ini terdapat beberapa tataran (order) fakta, yakni diantaranya mengenai pete fisik dan politik negeri yang terdapat dalam kisah tersebut. Kemudian terdapat gambaran kehidupan ekonomi masyarakat dalam kisah tersebut. Di samp[ing juga terdapat di dalamnya mengenai organisasi-organisasi sosial dan keluarga serta kosmologi masyarakat yang terdapat didalam kisah tersebut.
Dari situ kita bisa melihat bahwa Levi-Strauss mampu menganalisis secara detail tataran yang ada dalam kisah tersebut, yang semuanya ditujukan untuk menyingkap struktur-struktur tertentu dalam kisah tersebut.
Paparan mengenai analisas Levi-Strauss terhadap kisah-kisah di atas, semuanya hampir sama diberlakukan pada kisah-kisah yang dipaparkan dalam bab ini, walaupun ada beberapa analisa yang berbeda dalam setiap kisah yang ada.
Kelima, dalam bab kelima buku ini menerangkan mengenai analisis struktural dongeng Bajo. Sebelum memasuki penjabaran dongeng Bajo, Heddy Shri Ahimsa sedikit memaparkan mengenai mitologi yang terdapat pada masyarakat Indonesia. Setelah itu Heddy Shri Ahimsa dalam buku ini berupaya untuk bisa mengaplikasikan teori-teori strukturalisme Levi-Strauss dalam konteks Indonesia.
Memang ada beberapa kontradiksi mengenai mitos orang Bajo, Pitoto’ Si Muhamma’ dalam buku ini. Misalnya, bagaimana menjawab pertanyaan, “berasal dari manakah tepatnya budaya darat yang mempengaruhi mitos Pitoto’ Si Muhamma’ dalam dongeng Bajo?.
Dari isi mitos, dapat dikatakan kalau mitos ini dipengaruhi budaya Bugis atau Makassar, tapi tak dijelaskan secara tepat. Penjelasan mengenai tempat itu menjadi penting disebabkan pola hidup orang Bajo yang selalu berpindah. Sehingga, tafsir atas mitos-mitos orang Bajo –yang serupa Pitoto’ Si Muhamma’ yang berisi dilema pilihan Laut dan Darat— selalu tergantung budaya Darat yang mempengaruhinya.
Kalau jawabannya adalah: “tafsir itu pasti berbeda berdasarkan latar belakang budaya darat-nya”, maka akan muncul masalah baru. Sebab, mitos Pitoto’ Si Muhamma’ boleh jadi bukanlah milik orang Bajo, tapi mitos tentang orang Bajo yang merupakan milik masyarakat Darat yang disinggahi orang Bajo.
Dalam melakukan analisa struktural dongeng Bajo ini Heddy Shri Ahimsa sedikit berbeda dengan model Levi-Strauss. Heddy Shri Ahimsa lebih condong menggunakan model episode-episode dalam upaya memaparkan struktur dari cerita orang Bajo tersebut.
Keenam, dalam bab enam Heddy Shri Ahimsa berupaya menjelaskan mengenai dongeng dari Umar Kayam sebagai sebuah mitos. Dalam bab ini diberi judul Sri, Sumarah, Bawuk, dan Para Priyayi.
Heddy mencoba menunjukkan bagaimana kita dapat menerapkan analisis struktural Levi-Strauss pada tiga buah karya sastra Umar Kayam. Pada tiga dongeng Umar Kayam tersebut Heddy melakukan kajian yang berbeda dengan kajiannya saat menjabarkan dongeng Bajo. Pada kajian Umar Kayam ini Heddy menggabungkan analisis struktural Levi-Strauss dengan teori hermeunetik dari Clifford Geertz.
Dalam cerita Umar Kayam ini, hal-hal yang ingin ditonjolkan oleh Umar Kayam adalah cerita mengenai kehidupan orang-orang PKI di lingkungan masyarakatnya. Umar Kayam ingin menjabarkan mengenai siapa yang menjadi korban dan siapa yang tidak menjadi korban pada saat terjadinya gerakan anti PKI.
Kesimpulan dalam analisa ini adalah bahwa apa yang hendak disampaikan oleh Umar Kayam dalam ceritanya itu adalah mengenai nalar dari orang-orang yang dijadikan objek ceritanya yakni, Sri Sumarah, Tun, Bawuk dan objek-objek lainnya yang tidak lain adalah merupakan gambaran dari pola hidup masyarakat Jawa yang lebih condong pada sistem kawula-gusti, trimo ing pandum dan terjadinya sebuah hierarki sosial pada tiap-tiap levelnya.
Ketujuh, dalam bab ketujuh ini, Heddy Shri Ahimsa berusaha memaparkan mengenai sosok kehidupan Priyayi Jawa. Dalam tulisannya ini Heddy mengangkat dua tokoh utama yakni Sastrodarsono dan Lantip sel;aku tokoh dalam cerita Para Priyayi, di mana keduanya merupakan sosok-sosok yang mewakili dari dua kelas yang berbeda, yang satu priyayi dan yang satunya bukan priyayi.
Heddy juga menuturkan mengenai struktur priyayi dalam bab ini. Bagi Heddy struktur seorang priyayi mesti harus melalui tiga unsur utama. Tiga unsur utama itu adalah Bebet, Bibit, Bobo, yang kemudian bisa dijadikan sebagai ukuran status sosial seseorang. Di samping itu dijelaskan pula mengenai dialektika dalam struktur priyayi. Heddy menganalisanya sebagai imodel Levi-Strauss yang condong kepada pemahaman Hegel tentang dialektika. Dialektika dalam struktur priyayi dalam cerita Para Priyayi ini digambarkan melalui Ndoro Seten Kedungsimo sebagai tesis, kemudian muncul tokoh Atmokasan sebagai anti tesis, dan setelah itu ditengahi oleh Soedarsono sebagai sintesis.
Kedelapan, dalam bab delapan ini dijelaskan mengenai mitos dan sinkretisasi Islam di Jawa. Sinkretisme dalam bab ini mencakup pemahaman keagamaan orang Jawa terhadp Islam sebagai agama yang berasal dari Arab.
Dalam bab ini dijelaskan oleh Heddy Shri Ahimsa mengenai perbedaan hasil penelitian yang dilakukan oleh Jay, Geertz dan Woodward mengenai Islam di Jawa. Bagi Heddy hal tersebut wajar karena satu sisi mereka tidak begitu mendalam memahami kultur Jawa, juga lokasi penelitian mereka berbeda-beda. Dari sebab itu setidaknya bisa diambil kesimpulan tentang majemuknya masyarakat Jawa dalam hubungannya dengan tradisi keagamaan.
Dalam masyarakat Jawa terdapat beberpa hal yang itu bisa dikaitkan dengan unsur sinkretisme agama. Seperti tradisi menyatukan nasab (geneologis) para Raja-Raja Jawa/Pangeran Jawa yang mesti bermuara pada Nabi Islam dan Dewa-dewa Hindu. Kemudian mitos mengenai Ratu Kidul dengan Raja Mataram selaku Khalifatullah ing Tanah Jawi, yang memang kedua hal tersebut berbau sinkretis. Di mana pencampuran unsur Islam dengan nilai Jawanya sangat kental. Nabi dan Raja Mataram Khalifatullah ing Tanah Jawi merupakan mewakili nilai Islam, sedangkan Dewa Hindu dan Ratu kidul mewakili nila Jawa-Hindu.
Di samping hal-hal di atas, orang Jawa juga sangat mengagumi sosok tokoh Sunan Kalijaga. Karena bagi orang Jawa, sosok Sunan Kalijag merupakan bisa mewakili atau menjadi representasi bagi keagamaan orang Jawa. Sunan Kalijaga adalah sosok Waliyullah (Islam) yang juga bisa menjadi Dalang, Sinden, Paranormal, dan sebagainya yang merupakan mewakili simbol dari nilai-nilai Jawa.
Kesembilan, Dalam bab sembilan ini, Heddy Shri Ahimsa menjelaskan mengenai Sawerigading, Dewi Sri, Larangan Incest dan Kekuasaan. Di mana di dalamnya banyak menerangkan mengenai sistem perkawinan dan kekuasaan.
Banyak antropolog maupun sosiolog, terutama dari Sulawesi Selatan, menuliskan suku Bugis dan Makassar secara bergabung, Bugis-Makassar. Tak pernah, setidaknya saya, menemukan penjelasan mengapa mereka melakukan itu. Padahal suku Bugis dan Makassar adalah dua suku yang berbeda. Keduanya memiliki bahasa dan adat istiadat yang jelas tidak sama.
Kalau boleh menduga, cara penulisan seperti itu, yang dulu banyak dilakukan Mattulada, disebabkan pengaruh kuat politik Orde Baru. Ketika Orde Baru berkuasa, politik persatuan dan kesatuan bangsa cenderung dipaksakan. Sehingga suku Bugis dan Makassar yang berdekatan secara geografis sekaligus banyak berinteraksi, ditulis menjadi satu. Dugaan lain, pertimbangan rasa atau “etik”. Merasa tak enak bila menulis Bugis tanpa mengikutkan Makassar atau sebaliknya. Lainnya, penyatuan itu memang disebabkan keterbatasan antropolog atau sosiolog di masa itu. Sebab, kalau orang Bugis atau Makassar yang paling awam sekalipun, bisa mengidentifikasi diri mereka sebagai orang Bugis atau Makassar, mestinya ilmuwan lebih bisa melakukannya.
Walau mungkin bukan kekeliruan, penggabungan itu kemudian juga berdampak pada dibaurnya istilah-istilah Bugis dan Makasar dalam penelitian antropolog atau sosiolog. Dalam buku Heddy Shri Ahimsa ini, istilah Bugis seperti assialang marola, assialanna memeng, maupun ripaddeppe mabelae, bercampur dengan istilah Makassar seperti sampo sikali, sampo pinruan, dan sampo pintallu. Kesemua istilah itu berbeda dalam kedua bahasa di atas, sampo sikali, sampo pinruang, dan sampo pintallu, dalam bahasa Bugis adalah sappo wekkasiseng, sappo wekkadua, sappo wekkatellu.
Penggabungan itu juga dapat mengaburkan hasil penelitian tentang Bugis dan Makassar. Penelitian TH Chabot –yang dijadikan acuan dalam buku ini— tentang pelaksanaan perkawinan ideal di Bontoramba yang Makassar, apakah benar dapat diterapkan untuk mendukung pendapat tentang perkawinan ideal di Bugis? Dalam masyarakat Bugis, pembagian perkawinan ideal berdasarkan darah keturunan yang digambarkan Mattulada lebih mengacu ke kalangan bangsawan tinggi atau turunan datuk, bukan masyarakat Bugis kebanyakan.
Dalam kebanyakan masyarakat Bugis, di mana pernikahan tidak bermotif kekuasaan, tapi bertujuan “selamat dan sejahtera”, ada istilah sienrekeng dalle’. Istilah itu ditujukan kepada pasangan yang kalau dinikahkan, dipercaya akan saling “menaikkan” rejeki bagi keduanya. Syarat pasangan ini adalah: si perempuan merupakan anak bungsu dalam keluarganya dan si laki-laki adalah anak sulung dalam keluarganya.
Berbeda dengan kawin ideal dengan sepupu sekali di kalangan bangsawan tinggi, semisal para datuk untuk mempertahankan garis kebangsawanannya. Kebanyakan orang Bugis justru memandang menikah dengan sepupu sekali tidak akan mendatang rejeki. Sementara sienrekeng dalle’ merupakan hal yang penting bagi orang Bugis yang cenderung memandang kehormatan dari jumlah harta yang dimiliki.
Penutup, demikian sedikit uraian mengenai apa yang telah ditulis oleh Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra dalam bukunya Strukturalisme Levi-Strauss Mitos dan Karya. Setidaknya ada beberapa hal-hal baru yang hendak disampaikan oleh Heddy Shri Ahimsa dalam bukunya tersebut, sebagai upaya beliau untuk memberikan sumbangsihnya bagi perkembangan kajain sosial-budaya di Indonesia.






Berfilsafat sebagai langkah berfikir Mediatif


Bayangkan suatu pohon. Mungkin lukisan yang saya buat di sini (lihat Gambar III.1) akan mempermudah anda (walau ini juga menunjukkan bahwa anda tidak harus menjadi seniman untuk menjadi filsuf!). Nah, bagaimana filsafat itu menyerupai pohon? Sesungguhnya, ada banyak contoh kemungkinan penerapan analogi ini. Salah satu cara yang menarik dikemukakan oleh seorang filsuf yang ide–idenya akan kita bahas pada jam kuliah ini. Ia menyusun versinya sendiri mengenai mitos yang memandu kuliah ini, dengan mengklaim bahwa filsafat itu seperti pohon yang mempunyai metafisika sebagai akar–akarnya, fisika sebagai batangnya, dan ilmu-ilmu lain sebagai cabang–cabangnya. Dalam hal ini, yang semestinya merupakan pemikiran yang akurat tentang bagaimana filsafat berfungsi pada abad ke tujuhbelas, daun–daun pohonnya kemungkinan besar berkorelasi dengan pengetahuan, kendati filsuf yang kita bicarakan tidak menyangkut-pautkan analoginya sejauh itu. Demi maksud kita di Bagian Satu matakuliah ini, kita sekurang–kurangnya bisa setuju bahwa metafisika tentu saja mempunyai fungsi yang serupa dengan akar-akar pohon. Setelah kita tuntaskan sembilan kuliah pertama kita, saya harap alasan–alasan untuk itu cukup jelas. Namun pada saatnya nanti, saya akan menyarankan revisi terhadap beberapa aspek lain pada versi mitos ini, supaya tidak ketinggalan zaman (lihat Gambar III.1).
Ilmu

Fisika

Metafisika
Gambar III.1: Pohon Filsafat Ala Descartes
Nama filsuf tersebut yang akan segera anda akrabi lantaran sumbangan yang ia berikan di bidang matematika ialah René Descartes (1596–1650). Ia tidak hanya turut mengembangkan aljabar lebih lanjut, tetapi juga menemukan sistem koordinat geometri yang kita pelajari di sekolah. Ketika ia beralih perhatian ke filsafat, ia mengakui adanya masalah yang melekat dalam tradisi filsafat.
Selama duaribu tahun, sistem Plato dan Aristoteles sedikit-banyak telah mendominasi semua pemikiran filosofis di Barat. Tatkala agama Nasrani muncul di kancah [filsafat untuk pertama kalinya], sebagian besar pater gereja mengambil beberapa versi idealisme Platonik sebagai basis bagi teologi mereka. Kecenderungan itu memuncak pada sistem filosofis dan teologis yang dibangun oleh St. Agustinus (354–430), yang pengaruhnya sepeninggalnya sedemikian dominan selama masa yang disebut Zaman Kegelapan sehingga Aristoteles benar–benar terlupakan di Eropa. Untungnya, cendekiawan–cendekiawan Muslim melestarikan tulisan–tulisan Aristoteles selama periode itu, terutama dengan bahasa Arab, yang menggunakannya sebagai landasan untuk penyusunan berbagai bentuk filsafat dan teologi Islam. Akhirnya, realisme Aristoteles kembali ke Eropa, terutama melalui karya St. Thomas Aquinas (1225–1274), yang sistem teologis berskala besarnya terus menjadi sumber teologi Katolik hingga hari ini. Sampai waktu Descartes terjun ke kancah [filsafat], tidak ada alternatif signifikan yang ditawarkan selain aliran idealis (Platonik–Agustinian) dan realis (Aristotelian–Thomis). Adakah sesuatu yang salah pada dua sistem ini yang menghalangi timbulnya kemajuan filsafat dari para filsuf lain?
Descartes yakin, kedua tradisi tersebut menderita cacat yang sama. Kebuntuan itu tercipta oleh kurangnya kebenaran mutlak total yang bisa berfungsi sebagai titik tolak yang tak terbantahkan untuk penyusunan sistem pengetahuan tulen (yaitu ilmu). Wawasan ini menimbulkan pertanyaan baru di benak Descartes: bagaimana bisa kepastian mutlak semacam itu dibuktikan? Metode dialog Plato ataupun metode teleologis Aristoteles tidak mampu menghasilkan pondasi yang kokoh bagi suatu ilmu yang benar–benar ketat. Lantas, bagaimana bisa pondasi semacam itu didapatkan? Dalam perenungan terhadap pertanyaan ini, Descartes menemukan ide baru yang akan memungkinkan kita untuk menetapkan kepastian untuk sekali ini dan selamanya. Dengan mengganti dialog dengan meditasi menyendiri, metode barunya adalah kesangsian (doubt). Dengan secara sistematis menyangsikan segala sesuatu mengenai dunia dan mengenai kita sendiri yang, menurut perkirakan kita, kita ketahui, kita berharap memperoleh sesuatu yang akan mustahil untuk diragukan. Ini kemudian bisa berfungsi sebagai titik pijak pasti secara mutlak bagi pembangunan sistem filosofis positif.
Lantas, apa yang bisa kita ragukan? Bagaimana mengenai indera kita? Dapatkah anda mempercayai indera anda? Pada suatu hari, tidak lama setelah saya berpindah ke Hong Kong, saya berbelanja dengan keluarga saya di mal setempat. Setelah beberapa saat, kami mulai mencari tempat untuk makan. Seraya berjalan menuju suatu toserba yang memiliki kedai–kedai makan yang berderetan di depan, saya perhatikan sebuah etalase makanan Jepang yang amat menggiurkan. Saya sangat lapar, sampai-sampai mulut saya mulai basah oleh air liur. Kami sepakat untuk makan di sini saja, walau agak ramai. Ketika kami mendekat, saya betul–betul terkesan oleh makanan yang tampak bermutu tinggi yang mereka pajang di etalase. Hanya saja, tatkala kami sampai di kasir, baru saya sadari bahwa makanan di etalase itu bukan makanan sama sekali, melainkan plastik! Indera saya telah dibodohi sepenuhnya oleh kecerdikan agen pemasaran. Dan dengan ketawa kalian, saya bisa mengatakan bahwa banyak di antara kalian yang pernah membuat kekeliruan serupa.
Di “meditasi” pertama dari enam meditasi yang dipaparkan dalam Meditations on First Philosophy, Descartes mulai mencari kepastian dengan memanfaatkan pengalaman terkelabui yang sedikit-banyak universal tersebut untuk menaruh kesangsian akan keandalan indera kita. Jika kita terkelabuhi pada satu contoh itu, bagaimana kita tahu bahwa kita tidak terkelabui dengan lebih sering? Memang, jika segala kesan yang tertanam melalui indera kita mungkin merupakan kesan yang salah, maka tampaknya tidak ada peluang untuk mendapatkan kepastian apa saja di indera kita. Itu menodai realisme Aristotelian, karena realisme ini didasarkan pada asumsi bahwa substansi, sebagaimana yang dicerap terutama melalui indera kita, pada hakikatnya nyata.
Bagaimana mengenai idea kita? Barangkali Plato benar sepenuhnya, dan idea kita merupakan pondasi yang tepat bagi semua pengetahuan. Namun Descartes mendapati bahwa menaruh keraguan pada bidang ini mudah juga. Bahkan ide–ide yang bagi kita tampaknya pasti, ide-ide yang kesangsiannya tak pernah terbayangkan, bisa diragukan bila kita upayakan. Sebagai misal, ada banyak cara menaruh kesangsian pada pengalaman kita sehari-hari yang berhubungan dengan ruang dan waktu. Kebanyakan dari kita pernah bermimpi yang melanggar hukum–hukum keruangan semisal gravitasi (umpamanya, ketika dalam mimpi kita terbang) atau bermimpi yang waktu di dalamnya kelihatan lebih lambat atau lebih cepat daripada ketika kita tidak tidur. Bagaimana kita tahu bahwa pengalaman kita sehari–hari bukan mimpi belaka, bahwa sewaktu–waktu kita akan bangun dari mimpi ini? Barangkali ada jin jahat yang memperdaya kita semua sehingga kita salah menduga bahwa mimpi panjang ini merupakan dunia nyata kita. Walaupun tidak ada jin jahat itu, kita semua pernah mengalami keinsafan secara mendadak bahwa suatu ide yang karena kita kira benar kita pegang teguh ternyata salah. Ide apa pun bisa berbalik menjadi ilusi semacam itu, sehingga tidak ada ide yang tercegah dari kemungkinan ilusi. Karenanya, idealisme Plato tidak lebih berguna daripada realisme Aristoteles dalam pencarian kita akan sesuatu yang pasti mutlak.
Bagaimana mengenai matematika? Descartes sendiri ialah seorang matematikawan dan tentu saja mempercayai kebenaran matematika. Bahkan, ada banyak filsuf yang semasa hidupnya memanfaatkan metode matematis dalam berfilsafat. Adakah kemungkinan untuk meragukan bahwa, sebagai misal, 2+2=4? Saya imbau anda memikirkannya sendiri agar anda tergerak untuk membaca buku Descartes demi anda sendiri. Di sini cukup saya katakan, Descartes percaya bahwa matematika pun tidak bisa menyediakan pondasi yang pasti mutlak bagi pengetahuan.
Adakah sesuatu yang mustahil untuk diragukan? Kala Descartes berbaring di ranjangnya di ruang yang gelap dengan melakukan eksperimen pemikiran yang mendalam, tiba–tiba ia menemukan jawaban yang ia cari–cari. Ia dapati, ia tidak bisa menyangsikan bahwa pada saat itu ia sedang sangsi. Ini karena kesangsian itu mustahil eksis tanpa ada yang melakukan penyangsian! Kesangsian merupakan bentuk pemikiran, menurut Descartes dalam meditasinya yang kedua, sehingga pemikiran pasti menjadi dasar pembuktian kepastian akan eksistensinya sendiri. Karenanya, ia mengajukan pepatah yang kini terkenal, “saya berpikir; karena itu, saya ada” (dalam bahasa latin, Cogito ergo sum). Eksistensi “yang-berada yang berpikir” (thinking being) ini merupakan pondasi yang pasti mutlak bagi semua pengetahuan. “Saya” atau “ego” bertempat di luar sejarah dan kebudayaan sebagai asumsi metafisis dasar, tidak bergantung pada jenis iman apa pun, karena ketidakberadaannya itu mustahil selama saya tahu bahwa saya berpikir.
Begitu mencapai simpulan tersebut, Descartes menyadari bahwa itu mengundang masalah baru yang perlu dipecahkan. Descartes sendiri menolak berpihak kepada Plato yang memperlakukan badan sebagai ilusi, karena sebagai ilmuwan ia percaya bahwa badan itu sama nyatanya dengan benak. Ia justru mengambil sudut pandang metafisis yang dikenal sebagai “dualisme”, yang berarti bahwa baik benak maupun badan itu sama–sama dipandang nyata. Yang pertama merupakan “substansi pikir“ (res cogitans), sedangkan yang kedua merupakan “substansi ekstensi“ (res extensa). Sekalipun demikian, sekarang ia menunjukkan bahwa pengetahuan kita tentang badan kita, beserta keseluruhan alam ekstensi, tak pernah bisa sepasti pengetahuan kita tentang alam pikir kita. Kalau begitu, realitas badan itu kita percaya berdasarkan apa? Bagaimana badan dan benak itu berkaitan?
Pertanyaan pertama dijawab oleh Descartes di meditasinya yang ketiga dengan memanfaatkan Tuhan. Ia memulainya dengan menyusun suatu argumentasi yang kini disebut “argumen ontologis” tentang eksistensi Tuhan (yakni argumen yang hanya memanfaatkan pemahaman yang tepat mengenai konsep “Tuhan”). Bukti yang ia ajukan itu semacam ini: kita semua di dalam diri kita mempunyai idea “kesempurnaan”; setiap orang tahu bahwa “ego” yang ia yakini keberadaannya (yaitu benaknya sendiri) bukanlah Yang-Berada sempurna;[i][1] sekalipun begitu, Yang-Berada sempurna ini pasti eksis pada aktualnya, karena kalau tidak, ia akan kurang sempurna. Artinya, jika konsep kita tentang Yang-Berada yang paling sempurna itu mengacu pada suatu Yang-Berada yang pada kenyataannya tidak eksis, maka Yang-Berada ini tidak akan sesempurna Yang-Berada sempurna yang benar–benar eksis. Lalu Descartes menyatakan bahwa, karena dengan jalan itu kita bisa yakin bahwa suatu Yang-Berada sempurna (“Tuhan”) itu eksis, dan karena Yang-Berada semacam ini pasti baik supaya sempurna, kita pun bisa yakin bahwa Yang-Berada semacam ini tidak akan menipu kita. Dalam menanggapi kritik-kritik yang mengira bahwa argumen semacam itu tak berujung-pangkal (yaitu bahwa argumen itu telah mengasumsikan hal yang hendak ia buktikan), Descartes memanfaatkan gagasan tentang “idea bawaan” (idea-idea yang hadir di benak kita pada waktu kita lahir, dan karenanya otentik sendiri), yang menegaskan bahwa “Tuhan” merupakan idea bawaan seperti halnya idea “ego” saya sendiri.
Kendati kita bisa menerima penjelasan teologis Descartes tentang alasan agar kita dapat mempercayai realitas dunia eksternal, masih ada persoalan tentang bagaimana pada aktualnya benak kita berkaitan dengan badan kita, jika memang keduanya pada hakikatnya merupakan dua substansi yang berbeda. Solusi Descartes atas masalah ini tidak begitu disetujui oleh rekan–rekannya sesama filsuf. Ia menduga bahwa suatu kelenjar kecil di dasar otak, yang disebut “kelenjar kerucut” bertanggung jawab untuk memastikan hubungan sebab-akibat antara benak dan badan. Pada zaman Descartes, ide yang dominan tentang badan manusia adalah bahwa badan itu mesin yang hidup, sehingga kapan saja suatu bagian bergerak, pergerakannya pasti disebabkan oleh suatu proses mekanis sedemikian rupa, sehingga beberapa bagian lain “tergeser” ke dalamnya sebagaimana adanya. Jadi, Descartes mengklaim bahwa bila benak ingin badan melakukan sesuatu, ini mempengaruhi kelenjar kerucutnya, entah bagaimana, sehingga memulai suatu reaksi berantai yang berakhir pada berlangsungnya tindakan yang dikehendaki. Jadi, jika benak saya menyuruh saya untuk melempar sepotong kapur tulis ini ke udara, gagasan ini berputar–putar di benak saya sampai mencapai cukup kekuatan untuk menimbulkan dampak yang signifikan, lalu gagasan ini memintas menuju kelenjar kerucut saya, yang menyampaikan serangkaian pergerakan melalui leher saya dan turun ke lengan saya, sampai akhirnya lengan saya mematuhi perintah itu, seperti ini!
Setelah menjelaskan dua cara utama Descartes dalam mempertahankan dualisme metafisisnya, sekarang kita bisa meringkas teorinya sebagai berikut:[ii][2]
benak
res cogitans
(argumen
ontologis)
masalah
Tuhan benak-badan kelenjar kerucut

(penjelasan
biologis)
badan
res extensa

Gambar III.2: Solusi Descartes atas Masalah Benak-Badan

Dualisme Descartes mengandung beberapa konsekuensi penting. Untuk satu hal, paham ini mengganti definisi Aristoteles tentang manusia sebagai “hewan rasional” dengan gagasan tentang benak yang tertanam di mesin jasmani. Di bidang ilmu alam, gagasan ini berpengaruh besar dengan menyediakan pandangan kealaman bagi para ilmuwan yang memungkinkan mereka untuk mencapai (atau sekurang–kurangnya percaya bahwa mereka bisa mencapai) perspektif yang pada keseluruhannya obyektif tentang dunia eksternal, yang secara keseluruhan meredam segala pengaruh yang mungkin terdapat pada benak pengamat sendiri tentang pengetahuan yang kita capai.
Dalam pengertian ini, dualisme Descartes bisa dianggap sebagai pembuka jalan bagi ilmu Newtonian. Pandangan bahwa ego manusia mengendalikan dunia material, walau kini dipersoalkan oleh banyak pemikir modern (lihat Kuliah 18, misalnya), merupakan pandangan yang memungkinkan teknologi berkembang dengan sangat pesat pada tigaratus tahun terakhir.
Selama menyangkut metafisika, konsekuensi dualisme Descartes yang paling signifikan adalah bahwa dualisme ini memicu kontroversi baru, yang biasanya dikenal sebagai “masalah benak-badan”. Pandangan Descartes sendiri tampaknya sangat tidak masuk akal; namun adakah cara yang lebih baik untuk menjelaskan kesalingaruhan yang tampak antara benak dan badan? Perdebatan perihal jawaban yang tepat atas pertanyaan ini mulai berlangsung tidak lama kemudian dan sesungguhnya masih terjadi di beberapa lingkungan filosofis saat ini. Sebagai contoh, salah satu buku yang paling berpengaruh yang ditulis oleh seorang filsuf analitik abad keduapuluh, Gilbert Ryle, The Concept of Mind, bermula dengan argumen bahwa dualisme Descartes didasarkan pada “kekeliruan kategori” dan bahwa pemahaman yang tepat tentang cara pemakaian kata–kata seperti “benak” dan “badan” bisa memecahkan seluruh masalah benak–badan seketika dan selamanya.

Filsafat adalah berfikir

Bayangkan suatu pohon. Mungkin lukisan yang saya buat di sini (lihat Gambar III.1) akan mempermudah anda (walau ini juga menunjukkan bahwa anda tidak harus menjadi seniman untuk menjadi filsuf!). Nah, bagaimana filsafat itu menyerupai pohon? Sesungguhnya, ada banyak contoh kemungkinan penerapan analogi ini. Salah satu cara yang menarik dikemukakan oleh seorang filsuf yang ide–idenya akan kita bahas pada jam kuliah ini. Ia menyusun versinya sendiri mengenai mitos yang memandu kuliah ini, dengan mengklaim bahwa filsafat itu seperti pohon yang mempunyai metafisika sebagai akar–akarnya, fisika sebagai batangnya, dan ilmu-ilmu lain sebagai cabang–cabangnya. Dalam hal ini, yang semestinya merupakan pemikiran yang akurat tentang bagaimana filsafat berfungsi pada abad ke tujuhbelas, daun–daun pohonnya kemungkinan besar berkorelasi dengan pengetahuan, kendati filsuf yang kita bicarakan tidak menyangkut-pautkan analoginya sejauh itu. Demi maksud kita di Bagian Satu matakuliah ini, kita sekurang–kurangnya bisa setuju bahwa metafisika tentu saja mempunyai fungsi yang serupa dengan akar-akar pohon. Setelah kita tuntaskan sembilan kuliah pertama kita, saya harap alasan–alasan untuk itu cukup jelas. Namun pada saatnya nanti, saya akan menyarankan revisi terhadap beberapa aspek lain pada versi mitos ini, supaya tidak ketinggalan zaman (lihat Gambar III.1).
Ilmu

Fisika

Metafisika
Gambar III.1: Pohon Filsafat Ala Descartes
Nama filsuf tersebut yang akan segera anda akrabi lantaran sumbangan yang ia berikan di bidang matematika ialah René Descartes (1596–1650). Ia tidak hanya turut mengembangkan aljabar lebih lanjut, tetapi juga menemukan sistem koordinat geometri yang kita pelajari di sekolah. Ketika ia beralih perhatian ke filsafat, ia mengakui adanya masalah yang melekat dalam tradisi filsafat.
Selama duaribu tahun, sistem Plato dan Aristoteles sedikit-banyak telah mendominasi semua pemikiran filosofis di Barat. Tatkala agama Nasrani muncul di kancah [filsafat untuk pertama kalinya], sebagian besar pater gereja mengambil beberapa versi idealisme Platonik sebagai basis bagi teologi mereka. Kecenderungan itu memuncak pada sistem filosofis dan teologis yang dibangun oleh St. Agustinus (354–430), yang pengaruhnya sepeninggalnya sedemikian dominan selama masa yang disebut Zaman Kegelapan sehingga Aristoteles benar–benar terlupakan di Eropa. Untungnya, cendekiawan–cendekiawan Muslim melestarikan tulisan–tulisan Aristoteles selama periode itu, terutama dengan bahasa Arab, yang menggunakannya sebagai landasan untuk penyusunan berbagai bentuk filsafat dan teologi Islam. Akhirnya, realisme Aristoteles kembali ke Eropa, terutama melalui karya St. Thomas Aquinas (1225–1274), yang sistem teologis berskala besarnya terus menjadi sumber teologi Katolik hingga hari ini. Sampai waktu Descartes terjun ke kancah [filsafat], tidak ada alternatif signifikan yang ditawarkan selain aliran idealis (Platonik–Agustinian) dan realis (Aristotelian–Thomis). Adakah sesuatu yang salah pada dua sistem ini yang menghalangi timbulnya kemajuan filsafat dari para filsuf lain?
Descartes yakin, kedua tradisi tersebut menderita cacat yang sama. Kebuntuan itu tercipta oleh kurangnya kebenaran mutlak total yang bisa berfungsi sebagai titik tolak yang tak terbantahkan untuk penyusunan sistem pengetahuan tulen (yaitu ilmu). Wawasan ini menimbulkan pertanyaan baru di benak Descartes: bagaimana bisa kepastian mutlak semacam itu dibuktikan? Metode dialog Plato ataupun metode teleologis Aristoteles tidak mampu menghasilkan pondasi yang kokoh bagi suatu ilmu yang benar–benar ketat. Lantas, bagaimana bisa pondasi semacam itu didapatkan? Dalam perenungan terhadap pertanyaan ini, Descartes menemukan ide baru yang akan memungkinkan kita untuk menetapkan kepastian untuk sekali ini dan selamanya. Dengan mengganti dialog dengan meditasi menyendiri, metode barunya adalah kesangsian (doubt). Dengan secara sistematis menyangsikan segala sesuatu mengenai dunia dan mengenai kita sendiri yang, menurut perkirakan kita, kita ketahui, kita berharap memperoleh sesuatu yang akan mustahil untuk diragukan. Ini kemudian bisa berfungsi sebagai titik pijak pasti secara mutlak bagi pembangunan sistem filosofis positif.
Lantas, apa yang bisa kita ragukan? Bagaimana mengenai indera kita? Dapatkah anda mempercayai indera anda? Pada suatu hari, tidak lama setelah saya berpindah ke Hong Kong, saya berbelanja dengan keluarga saya di mal setempat. Setelah beberapa saat, kami mulai mencari tempat untuk makan. Seraya berjalan menuju suatu toserba yang memiliki kedai–kedai makan yang berderetan di depan, saya perhatikan sebuah etalase makanan Jepang yang amat menggiurkan. Saya sangat lapar, sampai-sampai mulut saya mulai basah oleh air liur. Kami sepakat untuk makan di sini saja, walau agak ramai. Ketika kami mendekat, saya betul–betul terkesan oleh makanan yang tampak bermutu tinggi yang mereka pajang di etalase. Hanya saja, tatkala kami sampai di kasir, baru saya sadari bahwa makanan di etalase itu bukan makanan sama sekali, melainkan plastik! Indera saya telah dibodohi sepenuhnya oleh kecerdikan agen pemasaran. Dan dengan ketawa kalian, saya bisa mengatakan bahwa banyak di antara kalian yang pernah membuat kekeliruan serupa.
Di “meditasi” pertama dari enam meditasi yang dipaparkan dalam Meditations on First Philosophy, Descartes mulai mencari kepastian dengan memanfaatkan pengalaman terkelabui yang sedikit-banyak universal tersebut untuk menaruh kesangsian akan keandalan indera kita. Jika kita terkelabuhi pada satu contoh itu, bagaimana kita tahu bahwa kita tidak terkelabui dengan lebih sering? Memang, jika segala kesan yang tertanam melalui indera kita mungkin merupakan kesan yang salah, maka tampaknya tidak ada peluang untuk mendapatkan kepastian apa saja di indera kita. Itu menodai realisme Aristotelian, karena realisme ini didasarkan pada asumsi bahwa substansi, sebagaimana yang dicerap terutama melalui indera kita, pada hakikatnya nyata.
Bagaimana mengenai idea kita? Barangkali Plato benar sepenuhnya, dan idea kita merupakan pondasi yang tepat bagi semua pengetahuan. Namun Descartes mendapati bahwa menaruh keraguan pada bidang ini mudah juga. Bahkan ide–ide yang bagi kita tampaknya pasti, ide-ide yang kesangsiannya tak pernah terbayangkan, bisa diragukan bila kita upayakan. Sebagai misal, ada banyak cara menaruh kesangsian pada pengalaman kita sehari-hari yang berhubungan dengan ruang dan waktu. Kebanyakan dari kita pernah bermimpi yang melanggar hukum–hukum keruangan semisal gravitasi (umpamanya, ketika dalam mimpi kita terbang) atau bermimpi yang waktu di dalamnya kelihatan lebih lambat atau lebih cepat daripada ketika kita tidak tidur. Bagaimana kita tahu bahwa pengalaman kita sehari–hari bukan mimpi belaka, bahwa sewaktu–waktu kita akan bangun dari mimpi ini? Barangkali ada jin jahat yang memperdaya kita semua sehingga kita salah menduga bahwa mimpi panjang ini merupakan dunia nyata kita. Walaupun tidak ada jin jahat itu, kita semua pernah mengalami keinsafan secara mendadak bahwa suatu ide yang karena kita kira benar kita pegang teguh ternyata salah. Ide apa pun bisa berbalik menjadi ilusi semacam itu, sehingga tidak ada ide yang tercegah dari kemungkinan ilusi. Karenanya, idealisme Plato tidak lebih berguna daripada realisme Aristoteles dalam pencarian kita akan sesuatu yang pasti mutlak.
Bagaimana mengenai matematika? Descartes sendiri ialah seorang matematikawan dan tentu saja mempercayai kebenaran matematika. Bahkan, ada banyak filsuf yang semasa hidupnya memanfaatkan metode matematis dalam berfilsafat. Adakah kemungkinan untuk meragukan bahwa, sebagai misal, 2+2=4? Saya imbau anda memikirkannya sendiri agar anda tergerak untuk membaca buku Descartes demi anda sendiri. Di sini cukup saya katakan, Descartes percaya bahwa matematika pun tidak bisa menyediakan pondasi yang pasti mutlak bagi pengetahuan.
Adakah sesuatu yang mustahil untuk diragukan? Kala Descartes berbaring di ranjangnya di ruang yang gelap dengan melakukan eksperimen pemikiran yang mendalam, tiba–tiba ia menemukan jawaban yang ia cari–cari. Ia dapati, ia tidak bisa menyangsikan bahwa pada saat itu ia sedang sangsi. Ini karena kesangsian itu mustahil eksis tanpa ada yang melakukan penyangsian! Kesangsian merupakan bentuk pemikiran, menurut Descartes dalam meditasinya yang kedua, sehingga pemikiran pasti menjadi dasar pembuktian kepastian akan eksistensinya sendiri. Karenanya, ia mengajukan pepatah yang kini terkenal, “saya berpikir; karena itu, saya ada” (dalam bahasa latin, Cogito ergo sum). Eksistensi “yang-berada yang berpikir” (thinking being) ini merupakan pondasi yang pasti mutlak bagi semua pengetahuan. “Saya” atau “ego” bertempat di luar sejarah dan kebudayaan sebagai asumsi metafisis dasar, tidak bergantung pada jenis iman apa pun, karena ketidakberadaannya itu mustahil selama saya tahu bahwa saya berpikir.
Begitu mencapai simpulan tersebut, Descartes menyadari bahwa itu mengundang masalah baru yang perlu dipecahkan. Descartes sendiri menolak berpihak kepada Plato yang memperlakukan badan sebagai ilusi, karena sebagai ilmuwan ia percaya bahwa badan itu sama nyatanya dengan benak. Ia justru mengambil sudut pandang metafisis yang dikenal sebagai “dualisme”, yang berarti bahwa baik benak maupun badan itu sama–sama dipandang nyata. Yang pertama merupakan “substansi pikir“ (res cogitans), sedangkan yang kedua merupakan “substansi ekstensi“ (res extensa). Sekalipun demikian, sekarang ia menunjukkan bahwa pengetahuan kita tentang badan kita, beserta keseluruhan alam ekstensi, tak pernah bisa sepasti pengetahuan kita tentang alam pikir kita. Kalau begitu, realitas badan itu kita percaya berdasarkan apa? Bagaimana badan dan benak itu berkaitan?
Pertanyaan pertama dijawab oleh Descartes di meditasinya yang ketiga dengan memanfaatkan Tuhan. Ia memulainya dengan menyusun suatu argumentasi yang kini disebut “argumen ontologis” tentang eksistensi Tuhan (yakni argumen yang hanya memanfaatkan pemahaman yang tepat mengenai konsep “Tuhan”). Bukti yang ia ajukan itu semacam ini: kita semua di dalam diri kita mempunyai idea “kesempurnaan”; setiap orang tahu bahwa “ego” yang ia yakini keberadaannya (yaitu benaknya sendiri) bukanlah Yang-Berada sempurna;
[i][1] sekalipun begitu, Yang-Berada sempurna ini pasti eksis pada aktualnya, karena kalau tidak, ia akan kurang sempurna. Artinya, jika konsep kita tentang Yang-Berada yang paling sempurna itu mengacu pada suatu Yang-Berada yang pada kenyataannya tidak eksis, maka Yang-Berada ini tidak akan sesempurna Yang-Berada sempurna yang benar–benar eksis. Lalu Descartes menyatakan bahwa, karena dengan jalan itu kita bisa yakin bahwa suatu Yang-Berada sempurna (“Tuhan”) itu eksis, dan karena Yang-Berada semacam ini pasti baik supaya sempurna, kita pun bisa yakin bahwa Yang-Berada semacam ini tidak akan menipu kita. Dalam menanggapi kritik-kritik yang mengira bahwa argumen semacam itu tak berujung-pangkal (yaitu bahwa argumen itu telah mengasumsikan hal yang hendak ia buktikan), Descartes memanfaatkan gagasan tentang “idea bawaan” (idea-idea yang hadir di benak kita pada waktu kita lahir, dan karenanya otentik sendiri), yang menegaskan bahwa “Tuhan” merupakan idea bawaan seperti halnya idea “ego” saya sendiri.
Kendati kita bisa menerima penjelasan teologis Descartes tentang alasan agar kita dapat mempercayai realitas dunia eksternal, masih ada persoalan tentang bagaimana pada aktualnya benak kita berkaitan dengan badan kita, jika memang keduanya pada hakikatnya merupakan dua substansi yang berbeda. Solusi Descartes atas masalah ini tidak begitu disetujui oleh rekan–rekannya sesama filsuf. Ia menduga bahwa suatu kelenjar kecil di dasar otak, yang disebut “kelenjar kerucut” bertanggung jawab untuk memastikan hubungan sebab-akibat antara benak dan badan. Pada zaman Descartes, ide yang dominan tentang badan manusia adalah bahwa badan itu mesin yang hidup, sehingga kapan saja suatu bagian bergerak, pergerakannya pasti disebabkan oleh suatu proses mekanis sedemikian rupa, sehingga beberapa bagian lain “tergeser” ke dalamnya sebagaimana adanya. Jadi, Descartes mengklaim bahwa bila benak ingin badan melakukan sesuatu, ini mempengaruhi kelenjar kerucutnya, entah bagaimana, sehingga memulai suatu reaksi berantai yang berakhir pada berlangsungnya tindakan yang dikehendaki. Jadi, jika benak saya menyuruh saya untuk melempar sepotong kapur tulis ini ke udara, gagasan ini berputar–putar di benak saya sampai mencapai cukup kekuatan untuk menimbulkan dampak yang signifikan, lalu gagasan ini memintas menuju kelenjar kerucut saya, yang menyampaikan serangkaian pergerakan melalui leher saya dan turun ke lengan saya, sampai akhirnya lengan saya mematuhi perintah itu, seperti ini!
Setelah menjelaskan dua cara utama Descartes dalam mempertahankan dualisme metafisisnya, sekarang kita bisa meringkas teorinya sebagai berikut:
[ii][2]
benak
res cogitans
(argumen
ontologis)
masalah
Tuhan benak-badan kelenjar kerucut

(penjelasan
biologis)
badan
res extensa
Gambar III.2: Solusi Descartes atas Masalah Benak-Badan
Dualisme Descartes mengandung beberapa konsekuensi penting. Untuk satu hal, paham ini mengganti definisi Aristoteles tentang manusia sebagai “hewan rasional” dengan gagasan tentang benak yang tertanam di mesin jasmani. Di bidang ilmu alam, gagasan ini berpengaruh besar dengan menyediakan pandangan kealaman bagi para ilmuwan yang memungkinkan mereka untuk mencapai (atau sekurang–kurangnya percaya bahwa mereka bisa mencapai) perspektif yang pada keseluruhannya obyektif tentang dunia eksternal, yang secara keseluruhan meredam segala pengaruh yang mungkin terdapat pada benak pengamat sendiri tentang pengetahuan yang kita capai. Dalam pengertian ini, dualisme Descartes bisa dianggap sebagai pembuka jalan bagi ilmu Newtonian. Pandangan bahwa ego manusia mengendalikan dunia material, walau kini dipersoalkan oleh banyak pemikir modern (lihat Kuliah 18, misalnya), merupakan pandangan yang memungkinkan teknologi berkembang dengan sangat pesat pada tigaratus tahun terakhir.
Selama menyangkut metafisika, konsekuensi dualisme Descartes yang paling signifikan adalah bahwa dualisme ini memicu kontroversi baru, yang biasanya dikenal sebagai “masalah benak-badan”. Pandangan Descartes sendiri tampaknya sangat tidak masuk akal; namun adakah cara yang lebih baik untuk menjelaskan kesalingaruhan yang tampak antara benak dan badan? Perdebatan perihal jawaban yang tepat atas pertanyaan ini mulai berlangsung tidak lama kemudian dan sesungguhnya masih terjadi di beberapa lingkungan filosofis saat ini. Sebagai contoh, salah satu buku yang paling berpengaruh yang ditulis oleh seorang filsuf analitik abad keduapuluh, Gilbert Ryle, The Concept of Mind, bermula dengan argumen bahwa dualisme Descartes didasarkan pada “kekeliruan kategori” dan bahwa pemahaman yang tepat tentang cara pemakaian kata–kata seperti “benak” dan “badan” bisa memecahkan seluruh masalah benak–badan seketika dan selamanya.
Kontroversi benak–badan mencapai puncaknya segera sesudah penerbitan karya Descartes, Meditations. Kita tidak punya waktu untuk analisis yang mendalam terhadap argumen–argumen yang mengemuka tadi. Namun demikian, memberi tinjauan singkat perihal lima alternatif yang paling menonjol terhadap posisi Descartes, yang masing–masing disajikan beserta penganjurnya yang paling berpengaruh, itu mungkin sangat berguna. Mereka ialah:
(1) Materialisme: Thomas Hobbes (1588–1679) menyatakan bahwa yang sebenarnya eksis itu hanya materi. Benak itu hanya konfigurasi bahan (atau materi) otak secara khusus. Karena itu, tidak ada masalah interaksi, karena pada keseluruhannya sistem itu bersifat fisis. Pandangan ini serupa, walau tidak persis sama, dengan realisme Aristoteles.
(2) Immaterialisme: George Berkeley (1685–1753) menyatakan bahwa sebenarnya yang eksis itu hanya persepsi. Tidak ada alasan untuk mempercayai bahwa eksistensi materi itu mandiri di luar benak pencerap. Karena itu, tidak ada masalah interaksi, karena pada keseluruhannya sistem itu bersifat spiritual. Pandangan ini serupa, walau tidak persis sama, dengan idealisme Plato.
(3) Paralelisme: Nicolas Malebranche (1638–1715) menyatakan bahwa sesungguhnya benak dan badan itu merupakan substansi yang terpisah, tetapi pada aktualnya tidak berinteraksi. Benak dan badan kelihatannya berinteraksi manakala pikiran, benak dan tindakan badan itu berjalan sejajar satu sama lain; namun dalam kejadian seperti ini, persesuaiannya diatur langsung oleh Tuhan.
(4) Teori Aspek Ganda: Benedictus de Spinoza (1632-1677) menyatakan bahwa benak dan badan (seperti semua materi dan spirit) adalah dua aspek dari satu realitas dasar, yang bisa disebut “Tuhan” atau “Alam”, tergantung pada bagaimana subyek memandangnya. Realitas adalah seperti sekeping uang logam dengan dua muka yang cukup berlainan, tetapi keduanya sama–sama benar sebagai deskripsi tentang koin ini.
(5) Epifenomenalisme: David Hume (1711-1776) menyatakan bahwa benak itu bukan apa–apa kecuali sebundel persepsi yang muncul dari badan. Di kemudian hari, para filsuf mempertajam pandangan ini dengan menyatakan bahwa badan (terutama otak) merupakan realitas utama, tetapi badan ini menciptakan benak. Sebagian filsuf menyatakan bahwa begitu benak muncul, benak itu mempunyai realitas sendiri.
Saya hendak menyimpulkan kuliah ini dengan mengemukakan satu perbedaan yang sangat signifikan antara metafisika Descartes dan metafisika Plato-Aristoteles. Bagi Plato dan Aristoteles, dan bagi hampir semua filsuf selama duaribu tahun sepeninggal mereka, jawaban atas pertanyaan dasar epistemologi (“Apa yang bisa saya ketahui?”) tergantung pada jawaban terdahulu atas pertanyaan dasar metafisika (“Apa yang pada hakikatnya nyata?”) Bagi Descartes, justru sebaliknyalah yang benar. Sebagaimana yang telah kita amati, ia memulai penyelidikannya dengan menanyakan apa yang bisa kita ketahui dengan pasti, dan hanya atas dasar jawaban atas pertanyaan inilah ia menyusun dualisme metafisisnya.
Seperti yang akan kita lihat di Kuliah 8, metafisikawan berikutnya yang gagasannya akan kita ulas juga memberi prioritas pada epistemologi. Karena itu dengan menjajagi kuliah tersebut sepintas lalu, kita dapat memanfaatkan salib sebagai peta pertalian antara metode–metode yang diterapkan oleh empat metafisikawan yang kita pelajari di Bagian Satu ini:
Dialog Plato
prioritas pada
metafisika
Ilmu Aristoteles Kritik Kant
prioritas pada
epistemologi
Kesangsian Descartes
Gambar III.3: Empat Metode Filosofis Pokok
Salah satu bahaya besar bagi mahasiswa pemula dalam studi fisafat adalah bahwa mereka mungkin dijejali dengan anekaragam sudut pandang dan pendapat yang terungkap pada bidang studi yang ia kaji, semisal metafisika. Meskipun peta–peta seperti di atas itu tak pelak lagi terlampau menyederhanakan pertalian yang rumit di antara empat filsuf tersebut, peta-peta itu bisa membantu kita untuk mendapatkan pegangan tentang persamaan dan perbedaan mereka, di samping menyiratkan wawasan yang lebih luas tentang berbagai hal. Umpamanya, diagram tersebut menyiratkan bahwa perkembangan filsafat Barat dapat dianggap sebagai proses yang berjalan pelan–pelan, sebagaimana adanya, dari wawasan yang tertinggi dan paling jauh ke landasan penalaran insani yang terdalam. Di dua kuliah mendatang, kita akan membahas lebih lanjut siratan ini yang akan memberi kita paparan yang akurat mengenai kontribusi Kant terhadap akar–akar pohon filosofis kita.


Filsafat Sebagai Kritik Transendental
Filsuf terakhir yang ide-idenya tentang metafisika akan kita bahas secara rinci di Bagian Satu matakuliah ini ialah orang yang pengaruhnya terhadap filsafat pada duaratus tahun terakhir ini, baik di Barat maupun di Timur, tak bisa diremehkan. Ia hampir secara universal diakui sebagai filsuf terbesar sejak masa Aristoteles: seorang pemikir yang ide-idenya harus diterima atau ditolak, tetapi tidak bisa diabaikan. Bahkan, ada yang menyatakan, dengan sah, bahwa filsafat di duaratus tahun ini bagaikan serangkaian catatan kaki terhadap tulisan-tulisannya! Ada pula yang memandang bahwa sistem filsafatnya bagi dunia modern ini laksana Aristoteles bagi dunia skolastik: suatu sistem acuan intelektual yang berlaku. (Skolastikawan ialah para teolog abad pertengahan yang menggunakan filsafat untuk menafsirkan agama Kristen, yang juga berspekulasi pada persoalan–persoalan seperti berapa banyak malaikat yang dapat melewati sebuah lubang jarum. Skolastikisme mencapai puncaknya pada karya Thomas Aquinas, namun menjadi kurang berpengaruh setelah Descartes tampil.) Seperti Aristoteles, pemikir besar ini menulis tentang hampir semua tema pokok filsafat dan mempunyai pengaruh yang segera dan bertahan lama terhadap cara pikir orang–orang—filsuf dan non-filsuf. Kita akan sering menilik pemikir ini pada kuliah–kuliah mendatang, namun hari ini kita hanya akan memperhatikan segi filsafatnya yang paling dekat hubungannya dengan metafisika.
Dialah Immanuel Kant (1724–1804) yang lahir dari keluarga kelas pekerja di Königsberg (kini Kaliningrad), kota pelabuhan Prusia. Ia hidup dengan tenang, teratur, tak pernah kawin, tak pernah bepergian lebih dari limapuluh kilometer dari tempat kelahirannya sepanjang hayatnya. Kant sering menjadi subyek karikatur secara agak tak wajar, semisal bahwa rutinitas hariannya amat kaku sampai–sampai para tetangganya menyetel arloji mereka menurut kedatangan dan kepergiannya setiap hari! Akan tetapi, saya lebih menganggap bahwa cerita semacam itu mencerminkan integritas kehidupannya yang bersesuaian dengan ide-idenya sendiri. Ini karena, seperti yang akan kita amati, barangkali pandangan filosofis Kant bersifat sitematis sepenuhnya, yang diatur dengan suatu pola ide teratur yang saling berkaitan. Sesudah ia meninggal, epitaf di batu nisannya hanya bertuliskan “Sang Filsuf“—sebuah sebutan yang tepat, dengan mempertimbangkan bahwa periode filsafat yang bermula dengan tampilnya Sokrates menjadi lengkap dalam banyak hal dengan hadirnya Kant.
Kant terdorong untuk menggagas metode filosofis baru itu karena alasan yang sama dengan alasan Descartes: ia bertanya dalam hati mengapa ilmu–ilmu lain maju pesat, tetapi metafisika tidak demikian. Sekalipun begitu, jawabannya atas pertanyaan ini bukan hanya mengabaikan masalah benak-badan seluruhnya, melainkan juga kontribusi utama Descartes lainnya: yakni keyakinannya akan obyektivitas mutlak dunia eksternal.
[iii][3] Kant mengajukan pertanyaan baru: benarkah anggapan Descartes (dan kebanyakan filsuf lainnya) bahwa obyek yang kita alami dan menjadi kita ketahui merupakan benda di dalam lubuknya (thing in itself)? Istilah “benda di dalam lubuknya” merupakan istilah teknis yang ia pakai untuk membahas hakikat realitas terdalam; ini berarti “benda di alam, yang dipandang lepas dari kondisi-kondisi yang memungkinkan diketahuinya segala sesuatu tentang benda ini.” Dengan adanya definisi ini, tegas Kant, benda di dalam lubuknya pasti tak terketahui. Dengan berlawanan sama sekali dengan Descartes, yang mensyaratkan bahwa titik awalnya adalah unit pengetahuan yang kepastiannya mutlak, titik tolak sisten pemikiran filosofis Kant adalah yakin akan realitas benda-benda yang di dalam lubuknya masing-masing tak terketahui. (Ini hanya salah satu perbedaan metode filosofis antara Descartes dan Kant yang saling bertentangan.)
Kant menamai sendiri cara berfilsafatnya: metode “Kritis”. Judul tiga buku utamanya, yang di dalamnya ia kembangkan Sistemnya, masing-masing dimulai dengan kata “Kritik”. Setiap buku itu menggunakan “sudut pandang” yang berlainan; masing-masing menghadapi semua pertanyaan masing-masing dengan ujung pandang khusus. Kritik pertamanya, (CPR), pusat perhatian kita pada kuliah ini, mengambil sudut pandang teoretis. Ini berarti jawaban-jawaban atas semua pertanyaan yang diajukan ini berkenaan dengan pengetahuan kita. Dua Kritik lainnya, seperti yang akan kita amati pada waktunya nanti, kadang-kadang menjawab pertanyaan yang sama itu dengan cara yang berbeda, karena mengambil sudut pandang yang berbeda. Oleh sebab itu, mengakui perbedaan antara sudut-sudut pandang itu penting sekali demi ketepatan pemahaman tentang filsafat Kant. Kita dapat menggambarkan kesalingterkaitan antara tiga bagian dari Sistem Kant dengan cara sebagai berikut:
I. Kritik Akal Murni
(Critique of Pure Reason)
sudut pandang teoretis
III. Kritik Penimbangan
(Critique of Judgment)
sudut pandang yudisial
II. Kritik Akal Praktis
(Critique of Practical Reason)
sudut pandang praktis
Gambar III.4: Kritik Kant dan Sudut Pandangnya
Pembandingan Gambar iii.4 dengan Gambar ii.6 menyiratkan bahwa metode Kritis merupakan bentuk baru metode Sokratik. perhatian utama Sokrates adalah mencermati diri-sendiri dan orang lain dalam pencarian kealiman, sedangkan metode Kritis Kant menghajatkan pemeriksaan terhadap akal itu sendiri. Dengan kata lain, “kritik” yang benar, bagi Kant, adalah suatu proses yang dengannya akal bertanya kepada akal itu sendiri mengenai jangkauan dan batas-batas kekuatannya sendiri. Tujuan pemeriksaan diri tersebut adalah menemukan, untuk sekali dan selamanya, semua tapal batas antara apa yang bisa dan yang tak bisa dicapai oleh akal manusia. di setiap “pengetahuan”, kita mencapai “kondisi-transendental”—begitulah Kant menyebutnya—pengetahuan empiris. Jadi, metode kritisnya mensyaratkan “refleksi transendental”, yang arti sederhananya adalah memikirkan kondisi-niscaya (atau syarat-perlu) posibilitas pengalaman. Sesuatu yang transendental adalah sesuatu yang pasti benar; kalau tidak, pengalaman itu sendiri akan mustahil. Kant menyebut bahwa segala yang di luar tapal batas itu “transenden”; karena manusia tak pernah mengalami hal-hal sedemikian itu, yang disebut “nomena”, hal-hal tersebut tak bisa diketahui sama sekali oleh akal manusia. Akan tetapi, segala yang di dalam tapal batas itu menegaskan hal-hal yang terbuka untuk dipelajari melalui “refleksi empiris” umum. Obyek yang bisa diketahui secara empiris ini ia sebut “fenomena”. Pembedaan antara obyek empiris, “benda” transenden, dan perspektif transendental itu, seperti yang tampak di Gambar III.5, merupakan salah satu pembedaan terpenting di keseluruhan sistem teoretis Kant.
kondisi transendental
“benda” transendental
yang tak terketahui
(nomena)
obyek empiris
yang bisa diketahui
(fenomena)
Gambar III.5: Tapal Batas Transendental Ala Kant
Pada ketiga Kritik masing-masing, Kant menampilkan tipe pemeriksaan-diri-akal yang berbeda-beda; ia menyelidiki tapal batas antara apa yang bisa dan yang tak bisa kita ketahui (teoretis) di Kritik pertama, antara apa yang harus dan yang jangan sampai kita lakukan (praktis) di Kritik kedua, dan antara apa yang bisa dan yang tak bisa kita harapkan (yudisial) di Kritik ketiga. Katanya, tiga perkara ini bisa dirangkum sebagai upaya untuk memahami identitas “manusia”; jadi, empat pertanyaan yang terlihat di Gambar III.6 memaparkan hubungan yang sistematis antara unit-unit karya filosofisnya sendiri. Pertalian antara empat pertanyaan tersebut perlu diperhatikan manakala kita membahas Kant (terutama pada Kuliah 22, 29, 32, 33), karena ia sendiri mengingatkan bahwa demi memahami ide-idenya dengan tepat, pembacanya harus menangkap “ide keseluruhannya” (CPR 37).
Apakah manusia itu?

Apa yang bisa Apa yang bisa
saya harapkan? saya ketahui?

Apa yang harus saya lakukan?
Gambar III.6: Empat Pertanyaan Filosofis Ala Kant
Metode baru Immanuel Kant mensyaratkan bahwa kita melihat kebenaran di kedua sisi yang bertolak belakang, mengakui bahwa itu saling membatasi, dan, akibatnya, mengambil sudut pandang yang mengiyakan hal-hal yang sah di kedua sisi itu.
[iv][4] Dengan mengharap bahwa anda ingat akan Kuliah 7, [perhatikanlah bahwa] metode baru ini berlawanan tajam dengan metode Descartes; metode Descartes memandang salah Plato atau pun Aristoteles, sedangkan metode Kant memandang benar keduanya, seperti yang terlihat di bawah ini:
Dialog Plato
perspektif
transendental
Kesangsian Descartes Kritik Kant
(keduanya salah) (keduanya benar)
perspektif
empiris
Teleologi Aristoteles
Gambar III.7: Descartes Lawan Kant tentang Plato Dan Aristoteles
Menurut Kant, baik Plato maupun Aristoteles membuat kekeliruan, sebagaimana sebagian besar filsuf Barat lainnya, yang berupa pengabaian sudut pandang yang berkebalikan dan pengambilan posisi ekstrim yang akhirnya hanya mengungkap setengah kebenaran. Jika pandangan Kant tentang “benda di dalam lubuknya” benar, maka kata-kata Plato benar bahwa obyek-obyek pengalaman hanya merupakan penampakan dari benda di dalam lubuknya; karena kala mengatakannya, ia mengambil perspektif “transendental” Kant. Begitu pula, kata-kata Aristoteles pun benar bahwa penampakan merupakan obyek sejati ilmu (yakni pengetahuan); karena kala mengatakannya, ia mengambil perspektif “empiris” Kant. Pada keduanya, kekeliruan mereka disebabkan oleh kenyataan bahwa mereka belum mengakui kebebalan mereka perihal benda di dalam lubuknya. Kelalaian inilah yang menyebabkan Plato berkeyakinan keliru bahwa kita bisa mencapai pengetahuan mutlak dari idea belaka dan inilah yang menyebabkan Aristoteles berkeyakinan keliru bahwa substansi merupakan realitas terdalam. Jadi, metode Kritis mendorong kita untuk tidak hanya mensintesis idealisme Plato dan realisme Aristoteles, tetapi juga menjelaskan kebenaran keduanya, yang melestarikan paham-paham ini sedemikian lama, dan juga kekeliruan yang menyebabkan paham-paham itu berpembawaan tidak memuaskan. Nah, mari kitas selidiki bagaimana Kant menyelesaikan tugas itu.
Pada Pengantar Kritik pertama edisi kedua, Kant beralih ke ilmu-ilmu yang mapan dengan harapan mendapatkan gelagat kesuksesan ilmu-ilmu itu. Ia dapati, logika bisa menjadi ilmu yang eksak hanya bila bidang penyelidikannya dibatasi dengan jelas (CPR 18). Matematika berkembang hanya kala orang-orang mulai mencari karakteristik yang niscaya dan semestawi yang terkandung dalam obyek-obyek yang kita pertalikan, bukan hanya karakteristik aksidentalnya (19). Ilmu-ilmu alamiah berhasil hanya tatkala berjalan menurut rencana yang ditentukan lebih dahulu (20). Dengan dilengkapi dengan isyarat-isyarat ini, Kant memperoleh satu gelagat akhir dengan beralih ke seorang ilmuwan istimewa, yang wawasan hebatnya banyak mengubah cara pandang kita terhadap alam semesta.
Dialah Nicolaus Copernicas (1473-1543), seorang astronom Polandia yang berani mempersoalkan asumsi yang telah lama dianut bahwa bumi adalah piringan datar yang terletak di tengah-tengah alam semesta. Ia yakin, anggapan itu menjauhkan kita dari penjelasan mengapa sebagian planet bergerak memutar tatkala berjalan melewati langit dari malam ke malam, dan kemudian memutar lagi untuk melanjutkan perjalanan searah dengan bintang-bintang. Maka ia memutuskan untuk mencoba asumsi bahwa matahari pada aktualnya berada di tengah-tengah alam semesta, sedangkan bumi dan planet-planet lain semuanya adalah bola bundar yang berputar mengelilingi matahari. Dengan menggunakan asumsi baru ini, bersama-sama dengan klaim bahwa bumi pun berputar mengelilingi porosnya sendiri, ia merasa dapat menjelaskan secara matematis bagaimana semua planet pada kenyataannya selalu bergerak di suatu orbit yang menyerupai lingkaran, walaupun kelihatannya arahnya berbeda bila diamati oleh pengamat di bumi.
Kant menyarankan, kita sebaiknya mencoba eksperimen serupa terhadap metafisika (lihat Gambar III.8).
[v][5] Para filsuf di masa lalu bukan hanya selalu menganggap benda di dalam lubuknya bisa diketahui, melainkan juga selalu menganggap pengetahuan kita pasti dengan sendirinya cocok dengan obyek, bukan sebaliknya. Mengapa tidak mencoba asumsi yang sebaliknya? Mungkin di metafisika, seperti di astronomi, peri yang benar tentang apa yang kelihatannya benar itu berbeda dengan peri yang benar tentang apa yang pada kenyataannya benar. Dengan kata lain, Kant mengusulkan agar perihal metafisika, yang lebih tepat mungkin mengatakan bahwa obyek-obyek dengan sendirinya cocok dengan pengetahuan subyek (yakni cocok dengan benak manusia)!
Matahari Bumi

Bumi Matahari


(a) Penampakan (b) Realitas
Kunci:
Matahari = obyek
Bumi = subyek
pergerakan = sumber pengetahuan
diam = cocok dengan sumber tersebut
Gambar III.8: Revolusi Copernican Kant
“Perspektif transendental” baru ini mungkin kedengarannya cukup ganjil. Bagaimana bisa dimengerti, sebagai misal, bahwa pengetahuan saya tentang kapur tulis ini bukan bergantung pada kapur tulis itu sendiri, melainkan pada benak saya? Menurut cara pikir (empiris) kita sehari-hari, pengetahuan saya bahwa kapur tulis ini putih tentu saja sama sekali tidak berasal dari penemuan oleh benak; namun pada faktanya, bisa diamati dengan gamblang bahwa kapur tulis ini tampak putih. Kant tidak pernah menyangkal kebenarannya. Yang ia sangkal adalah bahwa penampakan semacam itu merupakan realitas metafisisnya; penampakan itu justru berada dalam ranah fisika dan ilmu [alamiah] lainnya. Intinya adalah bahwa terdapat realitas transendental lain yang sama-sama sah sebagai cara pikir tentang obyek-obyek yang terungkap dengan lebih mendalam, dan bahwa bila kita berpikir dengan cara ini, ketika kita berpikir tentang kebenaran apa yang niscaya perihal pengalaman kita tentang sepotong kapur tulis ini, maka ternyata bahwa unsur-unsur pengetahuan kita ini berasal dari benak kita, bukan dari obyek itu sendiri. Oleh sebab itu, yang empiris dan yang transendental harus diakui sebagai dua sisi suatu koin, dua perspektif, yang keduanya memberi kita cara pandang yang benar terhadap dunia nyata, namun terbatas.
Lantas, apa saja syarat-transendental posibilitas pengalaman? Dengan kata lain, unsur-unsur apa sajakah yang keniscayaannya mutlak yang, menurut Kant, “pergerakannya” merupakan tapal batas antara pengetahuan kita yang nirmustahil dan kebebalan kita yang niscaya? Setengah bagian pertama dari Critique of Pure Reason berupaya menemukan dan membuktikan kesahihah-niscaya serangkaian syarat-syarat itu. Dalam proses pemenuhan tugas ini, Kant mengemukakan bahwa semua pengetauan empiris tersusun dari dua unsur: intuisi dan konsep. Intuisi adalah segala hal yang “diberikan” kepada indera kita, dan merupakan material di luar benak (yang menghasilkan pengetahuan kita). Demi maksud kita di sini, kita bisa memandang “intuisi” sebagai “cara kerja indera kita”. Konsep adalah kata atau pikiran yang kita pakai untuk mengelola intuisi kita secara aktif menurut berbagai aturan berpikir.
Kant berupaya membuktikan bahwa ruang dan waktu merupakan “bentuk intuisi” transendental, sedangkan sejumlah duabelas kategori tertentu merupakan “bentuk konsepsi” transendental. Kategori-kategori itu tertata dalam empat kelompok yang disebut “kuantitas”, “kualitas”, “relasi”, dan “modalitas”, yang masing-masing terdiri dari tiga kategori, seperti yang tampak pada Gambar III.9. Pada jam kuliah ini kita bebas mengabaikan rincian bagian-bagian dari teori Kant ini tanpa risiko, karena Kuliah 21 akan mencakup tinjauan yang lebih mendalam terhadap kategori terpenting, kausalitas. Lagipula, sebagaimana yang akan kita kaji di Pekan V, memahami bentuk logis serangkaian kategori tersebut lebih penting daripada memahami alasan Kant mengapa ia memilih duabelas kategori ini. Yang pokok dalam hal ini adalah memahami fungsi kategori-kategori tersebut, di samping ruang dan waktu, bentuk intuisinya yang berposisi berimbang.
nasib
aktualitas kesatuan
posibilitas Modalitas Kuantitas pluralitas
timbal-balik totalitas
kausalitas Relasi Kualitas realitas
substansi negasi
batasan
Gambar III.9: Pembagian Kategori Lipat-Duabelas Ala Kant
Untuk menghindari kesalahpahaman terhadap teori Kant tentang forma intuisi dan forma konsepsi, kita harus cermat dalam menanggapi pertanyaan seperti “Bagaimana mungkin saya tahu segalanya tentang sepotong kapur tulis ini?” dengan mempertimbangkan apakah ini pertanyaan empiris ataukah transendental. Jika transendental, maka jawabannya, menurut Kant, adalah bahwa benak kita sendiri memaksakan suatu kerangka ruang dan waktu atas obyek itu, sehingga melalui kerangka ini kita mampu mencerap keberadaannya, dan suatu kerangka kategori, sehingga melalui kerangka ini kita mampu memikirkan hakikatnya. Saya pikir kita semua akan setuju bahwa jika sepotong kapur tulis ini tidak terlihat oleh kita di ruang dan waktu kita, maka kita takkan bisa mencerapnya, dan bahwa kita memerlukan suatu konsep (“kapur tulis”), di samping memerlukan aturan-aturan umum perihal berpikir, dengan maksud mendapatkan pengetahuan apa saja tentang cerapan ini (atau lainnya). Pemeriksaan atas tatapikir semacam itu akan menjadi salah satu dari tugas utama kita di Bagian Dua.
Klaim Kant yang paling kontroversial adalah bahwa kedua kondisi-niscaya pengetahuan tersebut tidak bisa dijelaskan kecuali bila kita mengakui bahwa keduanya berakar pada benak manusia itu sendiri. Karena para filsuf saja selama duaratus tahun telah bersilang pendapat tentang apakah klaim yang disebut “Revolusi Copernican” dalam dunia filsafat ini pada kenyataannya masuk akal ataukah tidak, saya yakin kita tidak akan menyudahi persoalan ini sekarang; akan tetapi, saya harap anda sendiri memikirkan persoalan ini dengan lebih cermat. Di Kuliah 9 mendatang, saya akan membahas beberapa implikasi metafisis dari Kritik pertama dan mengulas secara singkat bagaimana Kant mempengaruhi metafisika selama duaratus tahun terakhir ini. Klaim saya nanti adalah bahwa pandangan Kant menggambarkan wawasan Sokrates, yang tersaji dalam bentuk benih, dalam versi yang dewasa sepenuhnya.
9. Filsafat Selepas Kritik
Khazanah epistemologis Kant segera berdampak kuat terhadap semua bidang penyelidikan filosofis, yang mendatangkan suatu zaman [baru] yang disebut “era modern” filsafat Barat dan membangkitkan serangkaian panjang filsafat “pascamodern” atau “pasca-Kritis”. Sebelum menyinggung bagaimana Kant mempengaruhi perkembangan metafisika sepeninggalnya, saya akan secara singkat memeriksa implikasi metafisis, yang diyakini oleh Kant sendiri, dari epistemologinya.
Kant mengemukakan bahwa kondisi transendental pengetahuan (yakni ruang dan waktu dan kategori-kategori) memancangkan tapal batas mutlak yang memungkinkan kita untuk menimbang realitas yang bisa dan yang tidak bisa kita ketahui. Segala konsep yang tidak disertai dengan intuisi yang bersesuaian dengan ini, atau segala intuisi yang tidak bisa dikonsepkan, tidak akan bisa digunakan untuk membangun pengetahuan. Namun demikian, manakala seseorang memperoleh suatu pengetehuan empiris, akalnya tak pelak lagi membangun “idea-idea” tertentu tentang hal-hal yang berada di luar tapal batas pengetahuan kita. Menurut Kant, yang terpenting dalam hal ini adalah idea-idea metafisis tentang “Tuhan, kebebasan, dan keabadian”: akal memaksa kita untuk mengasumsikan keberadaan tiga idea tersebut, namun kita tak dapat membuktikan bahwa ketiganya merupakan obyek yang realitasnya kita ketahui. Kenyataan bahwa kita bebal perihal tiga aspek terpenting kehidupan manusia itu merupakan masalah, sebagaimana yang terlukis dalam Gambar III.10, yang solusinya merupakan tugas utama filsafat.
ruang dan waktu
Tuhan, kebebasan,
dan keabadian
idea-idea
pengetahuan empiris
kebebalan-niscaya
(“iman”)
12 kategori
Gambar III.10: Masalah “Idea-Idea” Kantian
Kant sendiri memecahkan masalah tersebut dengan menuntut bahwa kita harus mengubah sudut pandang pemikiran kita bila kita berhasrat untuk mengiyakan keyakinan kita akan idea-idea tersebut. Pada Kuliah 22 dan 29 kita akan menelaah dua contoh tindakan yang ia sarankan. Untuk kali ini, cukup dikatakan bahwa Kant sendiri yakin bahwa pengakuan batas-batas pengetahuan sangat baik demi metafisika. Dalam CPR 29, ia mengakui, “Saya telah … mendapati bahwa kita perlu menolak pengetahuan, supaya ada ruang bagi keyakinan.” Suatu pengakuan keterbatasan akal secara jujur dan berani mungkin membuat tugas filsafat lebih sulit dan rawan, tetapi sebagaimana yang akan kita pelajari di Kuliah 32 dan 33, inilah cara terbaik (kalau bukan satu-satunya cara) untuk melanggengkan kebermaknaan hidup manusia.
Sekarang kita bisa merangkum corak utama metafisika Kant yang berkenaan dengan empat ajaran fundamental berikut ini:
1. Realitas hakiki (“transenden”)—yakni realitas yang lepas dari kondisi-kondisi yang membatasi kita dalam mempelajarinya—merupakan benda di dalam lubuknya yang tak bisa diketahui.
2. Realitas empiris—yakni aspek-khusus pengetahuan kita—ditentukan oleh “penampakan” yang kita alami (bandingkan Aristoteles).
3. Realitas transendental-yakni aspek-umum pengetahuan kita (terutama ruang dan waktu sebagai “forma intuisi”, dan duabelas kategori sebagai “forma pikiran”)—ditentukan oleh subyek yang mengetahuinya (bandingkan Plato).
4. Pengetahuan itu tentu menimbulkan ide-ide mengenai realitas hakiki yang bolehjadi, sekiranya kita bisa mengetahuinya; namun upaya untuk membuktikan ide-ide ini menyebabkan akal menjadi berkontradiksi-diri, sehingga ide-ide ini tidak akan menjadi unit-unit pengetahuan ilmiah.
Implikasi dari Sistem filsafat Kant yang mencuat dari ajaran-ajaran tersebut berlipat-lipat. Dalam hal ini, mari kita amati empat implikasinya yang paling signifikan bagi metafisika.
Pertama, bila kita pikir Sokrates menanam “benih” di sejarah filsafat Barat dengan gagasannya bahwa para filsuf harus bertolak dari pengakuan hal-hal yang tidak mereka ketahui, maka pohon yang tumbuh dari benih ini berbuah untuk pertama kalinya bersama-sama dengan Kant. Kant setuju bahwa filsafat bermula dengan pengakuan kebebalan; sesungguhnya, ia pun menegaskan bahwa “manfaat yang tak terhitung nilainya” dari Kritik Pertama adalah “bahwa semua keberatan atas moralitas dan agama akan terbungkam selamanya, dan [kebungkaman] ini dalam nuansa Sokratik, yakni [terbungkam] oleh bukti terjelas yang berupa kebebalan pengamat obyek” (CPR 30). Namun ia melangkah lebih jauh daripada Sokrates dengan menetapkan garis pemisah yang tajam, tapal batas yang berada tepat di antara kawasan “kebebalan-niscaya” dan “pengetahuan-nirmustahil”: kita mungkin dapat memikirkan suatu konsep yang tidak bisa diintuisikan, atau merasakan suatu intuisi yang tidak bisa dikoneptualkan; namun kita hanya bisa mengetahui hal-hal yang tampak dalam bentuk yang terbuka terhadap intuisi dan konsepsi. Selanjutnya, Kant memperbedakan antara dua tipe kebebalan (605-606): kebebalan-aksidental dalam hal persoalan empiris mesti mendorong kita untuk memperluas pengetahuan kita, sedangkan kebebalan-niscaya dalam hal persoalan metafisis mesti mendorong kita untuk melampaui pengetahuan menuju tujuan praktis berfilsafat—yakni untuk hidup dengan lebih baik.
Oleh sebab itu, berkat Kant, metafisika akhirnya mencapai kedewasaan. Setelah selama duaribu tahun para filsuf berupaya memberantas kebebalan-niscaya dengan pengetahuan metafisis, Kant menuntaskan daur historis filsafat Barat dan, dengan demikian, menguak sejumlah masalah yang benar-benar baru. Ini karena implikasi berikutnya dari Sistem Kant adalah bahwa kini kita harus mendapatkan jalan untuk menanggulangi kebebalan-niscaya kita. Bagaimana kita bisa berfilsafat tanpa berpengetahuan tentang realitas terdalam? Duaratus tahun terakhir ini filsafat merupakan serentetan berbagai usulan tentang bagaimana hal itu bisa diselesaikan dengan sebaik-baiknya. Solusi Kant sendiri, teori “Copernican”-nya bahwa si subyek membaca kondisi transendental pengetahuan pada obyek, ditolak oleh kebanyakan filsuf sepeninggalnya. Akan tetapi, saya pikir sebaiknya kita tidak buru-buru menolak teori yang kedengarannya agak ganjil itu. Seperti halnya “cogito” Descartes melapangkan jalan bagi fisika Newtonian, saya yakin revolusi Copernican Kant melapangkan jalan bagi relativitas dan mekanika kuantum yang sama-sama berpandangan bahwa si pengamat turut-serta dalam pembentukan pengetahuan.
Lantaran Kant telah menetapkan batas-batas pengetahuan manusia secara sedemikian tajam, kita bisa mengatakan bahwa filsafat menjadi lebih lengkap dengan kehadiran Kant daripada sebelumnya. Kant sendiri sangat menyadari aspek Sistemnya itu (CPR 10):
I have made completeness my chief aim, and I venture to assert that there is not a single metaphysical problem which has not been solved, or for the solution of which the key at least has not been supplied.
(Saya telah menuntaskan sasaran utama saya, dan saya terjun untuk menegaskan bahwa tidak ada satu masalah metafisis yang belum terpecahkan, atau sekurang-kurangnya solusi yang kuncinya belum tersedia.)
Menariknya, bila anda menoleh ke bahasan kita tentang mitos di Kuliah 3, anda mungkin ingat bahwa mitos apa pun merupakan sesuatu yang terkurung dalam batas-batas [lihat Gambar I.7]. Jadi, saya pikir, benarlah pernyataan bahwa dengan kehadiran Kant, filsafat Barat mengalami suatu “pergeseran paradigma” sehingga kita bisa mengatakan, Kant memberi filsafat suatu “mitos” baru—mitos tentang benda di dalam lubuknya. Tentu saja, selama kita memperlakukan ini sebagai mitos yang “tercerahkan”—yakni selama kita selalu mengingat kemitosannya, sehingga tidak memperlakukannya sebagai kebenaran mutlak, tetapi sebagai asumsi dasar yang dipungut secara longgar berdasarkan keyakinan—kita bisa menghindari banyak kesukaran yang “hidup di dalam mitos”, kecuali kalau tak terelakkan.
Implikasi keempat dari filsafat Kant adalah bahwa tuntutannya akan kawasan kebebalan-niscaya manusia itu menjadikan filsufnya rendah hati. Ini tampaknya mungkin mengejutkan, terutama bagi anda yang telah membaca beberapa tulisan Kant sendiri, karena jelas-jelas Kant tidak bebal perihal kehebatan prestasinya sendiri. Pada beberapa kesempatan, ia dengan bangga mengklaim bahwa Sistemnya lebih unggul daripada sistem-sistem para filsuf terdahulu semuanya. Yang saya tunjukkan di sini adalah bahwa, sementara kebanyakan filsuf memanfaatkan ide-ide spekulatif tertentu, yang memerlukan akses ke beberapa jenis pengetahuan transenden yang istimewa yang tidak bisa diakses oleh orang awam, filsafat Kant mengganti itu semua dengan hipotesis-hipotesis. Ia menempatkan para filsuf pada umumnya secara sejajar, bahkan juga sejajar dengan para non-filsuf, bila mengenai kemampuan untuk memperoleh pengetahuan mengenai persoalan-persoalan metafisis yang paling dasar. Implikasi dari filsafatnya ini acapkali terlewatkan, juga oleh mereka yang bertahun-tahun mengkaji tulisan-tulisannya, karena Kant mengungkap ide-idenya dengan peristilahan yang serumit itu. Sekalipun demikian, Kant menyatakan aspek “rendah hati” dari Sistem Kritisnya dengan cukup jelas beberapa kali. Salah satu contoh terbaiknya, menjelang halaman terakhir Kritik pertama (651-652), dikutip dengan seutuhnya:
But, it will be said, is this all that pure reason achieves in opening up prospects beyond the limits of experience? … Surely the common understanding could have achieved as much, without appealing to philosophers for counsel in the matter.
I shall not dwell here upon the service which philosophy has done to human reason through the laborious efforts of its criticism, granting even that in the end it should turn out to be merely negative … But I may at once reply: Do you really require that a mode of knowledge which concerns all men should transcend the common understanding, and should only be revealed to you by philosophers? Precisely what you find fault with is the best confirmation of the correctness of the [Critical philosophy]. For we have thereby revealed to us, what could not at the start have been foreseen, namely, that in matters which concern all men without distinction nature is not guilty of any partial distribution of her gifts, and that in regard to the essential ends of human nature the highest philosophy cannot advance further than is possible under the guidance which nature has bestowed even upon the most ordinary understanding.
(Namun akan dikatakan, sungguhkah akal murni itu berhasil menyingkap tabir melantas batas-batas pengalaman? … Pikiran awam tentu bisa juga sampai di situ tanpa memohon wejangan kepada para filsuf dalam hal itu.
Di sini saya tidak akan berpanjang-tutur tentang jasa filsafat yang telah dihibahkan kepada akal manusia melalui jerih payah kritikannya, yang juga memberi sesuatu yang pada akhirnya menjadi negatif belaka … Akan tetapi, saya bisa menukas seketika: Sesungguhnyakah anda menghajatkan bahwa ragam pengetahuan yang menyangkut semua orang harus melampaui pikiran awam, dan hanya bisa tersingkap kepada anda oleh para filsuf? Kesalahan yang anda dapati dengan cermat itu merupakan pengukuhan terbaik perihal kebenaran [filsafat Kritis]. Lantaran dengan demikian, kita mengungkap sendiri hal-hal yang pada awalnya tak terduga, yakni bahwa dalam hal-hal yang menyangkut semua manusia tanpa pandang bulu, alam tidak bersalah atas segala distribusi parsialnya, dan bahwa berkenaan dengan tujuan esensial bawaan manusia, filsafat tertinggi tidak mampu melangkah lebih jauh daripada yang mungkin [dicapai], di bawah panduan yang dilimpahkan oleh alam, oleh pikiran yang paling awam sekalipun.)
Dengan kata lain, filsafat itu istimewa bukan karena membolehkan kita untuk berbangga mengklaim tingkat pengetahuan yang lebih tinggi daripada orang awam, melainkan karena merendahkan hati kita dengan memperlihatkan terbatasnya semua pengetahuan kita.
Sayangnya, terdapat banyak filsuf sepeninggal Kant yang menolak untuk menerima implikasi penting dari sistemnya itu. Sejarah metafisika selama duaratus tahun terakhir ini justru banyak berisi aneka upaya untuk menghindari implikasi yang menggemaskan itu, bahwa para filsuf berkewajiban untuk rendah hati agar menjadi filsuf yang baik. Filsuf-filsuf telah mencoba lari dari konsekuensi itu dengan menyangkal, memberangus, atau menyalahartikan satu atau beberapa sudut pandang yang berusaha dipertahankan oleh Kant dengan keseimbangan yang rawan. Tokoh-tokoh kunci dalam empat pergerakan pasca-Kantian, yaitu idealisme Jerman, eksistensialisme (baik versi pesimistik/ateistik maupun optimistik/teistik), analisis linguistik, dan filsafat hermeneutik, akan diulas secara singkat pada sisa waktu jam kuliah ini.
Para idealis Jerman (yang paling terkemuka ialah Fichte, Schelling, Hegel, dan Marx) merupakan contoh pasca-Kantian pertama dan paling terkenal yang berusaha memperoleh kembali kemampuan manusia untuk mengetahui realitas terdalam. Johann Fichte (1762-1814) pada mulanya oleh banyak orang dikira berkarakter sebagai pengganti pilihan Kant; akan tetapi, ia segera jelas-jelas putus dari Kant, dengan mengemukakan bahwa “ego transendental” pada aktualnya menghasilkan dunia ilmiah seluruhnya di luar dunia itu sendiri. Jadi, “benda di dalam lubuknya” yang bermasalah bisa dibuang karena segala yang keberadaannya lepas dari benak kita tidak diperlukan lagi. Friedrich Schelling (1775-1854) tergolong dalam Pergerakan Romantik dan sekaligus sebagai idealis; buktinya adalah penekanannya pada seni, perasaan, dan keragaman individu. Bukunya, System of Transcendental Idealism (1800), menguraikan posisi yang mirip dengan pandangan Fichte, dengan berpikiran bahwa ego itu “bertempat sendiri” (yakni membuat diri memasuki obyek), sehingga mencipatakan dunia eksternal dan menetapkan sendiri tugas untuk mengetahuinya. Kedua pandangan itu menolak mentah-mentah keberadaan realisme empiris Kant.
Idealisme Jerman mencapai puncaknya pada Georg Friedrich Hegel (1770-1831), yang kontribusi utamanya adalah membawa sejarah ke dalam pusat perhatian metafisika. Ia mengemukakan bahwa proses tiga-tahap yang digunakan oleh Fichte dan Schelling (itu sendiri yang berakar kuat di Sistem Kant [lihat, umpamanya, Gambar III.1]) merupakan pola pasti dan logis yang memberi tahu kita bagaimana sesungguhnya sejarah berkembang. Itu memungkinkan kita untuk memperoleh akses apriori ke realitas hakiki dalam suatu forma yang oleh Hegel disebut “Spirit Mutlak“. (Kita akan melihat lebih dekat logika Hegelian pada Kuliah 12.) Tokoh yang bisa dianggap penyimpul tradisi ini ialah Karl Marx (1818-1883), bukan lantaran ia idealis, melainkan karena ia menyusun keseluruhan filsafatnya sebagai reaksi melawan sistem Hegelian. Ironisnya, hal itu mengharuskan dia untuk menerima asumsi-asumsi utama Hegel, termasuk mitos dasarnya bahwa kenyataan terdalam bisa diketahui melalui perkembangan historis. Namun lantaran fokusnya bukan metafisika, melainkan filsafat politik, kita menunda pembahasan lebih lanjut ide-ide Marx hingga Pekan IX.
Dua filsuf Amerika, C.S. Peirce (1839-1914) dan John Dewey (1850-1952), walau bukan bagian dari idealisme Jerman, juga dipengaruhi oleh Hegel dalam mengembangkan pragmatisme, suatu pendekatan filsafat yang lebih menekankan pengertian awam daripada teori-teori metafisis seperti itu. Realitas tidak banyak ditentukan melalui penalaran filosofis, tetapi melalui penyelidikan hal-hal yang berjalan di dunia empiris. Persoalan realitas terdalam sedikit-banyak diabaikan. Secara demikian, pragmatisme tidak selalu anti-Kantian, tetapi juga tidak sepenuhnya mengambil posisi Kant (bandingkan dengan Kuliah 22 dan 29).
Reaksi lain terhadap penyangkalan mutlak Hegel atas batas-batas Kantian menghasilkan eksistensialisme—kendati dalam hal ini mitos Hegel tentang sentralitas sejarah itu sendiri dipersoalkan dengan lebih mendasar. Dua tokoh utama paham ini ialah Arthur Schopenhauer (1788-1860) dan Søren Kierkegaard (1813-1855), yang mengembangkan alternatif terhadap Hegel; yang pertama bercorak pesimistik, yang kedua bercorak optimistik. Daripada Hegel, Schopenhauer lebih percaya kepada Kant; namun Schopenhauer memodifikasi Sistem Kant dengan menghubungkan alam benda di dalam lubuknya dengan suatu “kehendak” bawah-sadar yang mencakup segala hal yang tidak hanya berhubungan dengan persoalan moral, sebagaimana argumen Kant (lihat Kuliah 22). Ia yakin bahwa konflik antara kehendak ini dan alam eksternal menyebabkan penderitaan yang tak terelakkan, dan bahwa penderitaan ini merupakan makna sejati kehidupan. Kierkegaard juga menyerang Hegel dengan kembali kepada Kant, tetapi dengan jalan yang lebih optimistik, dengan mengakui penderitaan hidup sebagai kekuatan yang mengarahkan kita kepada Tuhan dan karenanya mesti dilalui. Posisinya akan menjadi fokus perhatian kita di Kuliah 34.
Para pelopor tersebut selanjutnya mempengaruhi dua filsuf yang mengembangkan eksistensialisme dengan lebih eksplisit: Friedrich Nietzsche (1844-1900) dan Paul Tillich (1886-1971). Nietzsche, yang amat dipengaruhi oleh pesimisme suram Schopenhauer, menyusun suatu filsafat moral yang berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Kant, yang menjadi persemaian bagi hampir semua versi ateistik eksistensialisme yang selama seabad ini subur. Tillich, yang amat dipengaruhi oleh Kierkegaard, ialah filsuf-teolog yang mengembangkan kerangka eksistensialis dengan arah “optimistik” (yakni dibuktikan kebenarannya secara teologis) yang paling lengkap. Nietzsche akan menjadi fokus perhatian kita pada Kuliah 23, sedangkan Tillich pada Kuliah 17, 30, 31, dan 34.
Yang banyak berlawanan dengan eksistensialisme selama seabad ini adalah filsafat analitik. Seperti yang akan kita amati di Kuliah 16, dua penggerak utamanya ialah Bertrand Russel (1872-1970) dan Ludwig Wittgenstein (1889-1951). Dalam tradisi ini mereka sering dipandang sebagai penerus langsung langkah-langkah Kant; akan tetapi, klaim ini didasarkan pada interpretasi yang amat anti-metafisis bahwa Kant mengenyahkan metafisika tanpa menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik. Untungnya, semakin banyak filsuf Anglo-Amerika [dan beberapa tipe filsuf lainnya] yang mengakui bahwa dikotomi lama antara pendekatan filsafat yang eksistensial dan analitik itu tidak sah—suatu perkembangan yang saya pikir sebaiknya disebut dengan satu kata saja, “baik” (bandingkan Gambar I.2)!
Salah seorang filsuf yang sering dianggap eksistensialis walaupun ia berupaya tidak mengaitkan diri dengan pergerakan itu ialah Martin Heidegger (1889-1976). Pendekatannya terhadap filsafat, yang akan disinggung secara singkat di Kuliah 17 dan 34, melahirkan salah satu dari perkembangan yang paling berpengaruh di paruh-kedua abad keduapuluh: filsafat hermeneutik. Kuliah 18 akan memeriksa lebih rinci bagaimana Hans Georg Gadamer (1900- ) menyusun suatu teori interpretasi yang masih sangat berpengaruh hingga hari ini. Salah satu dari alasan utama berpengaruhnya teori ini, menurut saya, adalah bahwa teori ini tidak berfokus pada persoalan tradisional metafisika. Bahkan, pada titik yang paling ekstrim, filsafat hermeneutik membangkitkan suatu pergerakan yang disebut “dekonstruksionisme”, yang dipelopori oleh filsuf-filsuf seperti Jacques Derrida (1930- ), yang percaya bahwa bukan hanya metafisika, melainkan filsafat itu sendiri pun telah tamat. Karena kita akan membahas ide-ide ini dengan lebih lengkap di Kuliah 18 dan 24, ide-ide ini tidak perlu dirangkum di sini.
Bila anda menempuh matakuliah metafisika, dosen anda mungkin akan berfokus pada masalah-masalah dasar tertentu yang cenderung menarik minat para metafisikawan kontemporer. Masalah-masalah itu pada khususnya berkaitan dengan salah satu dari empat “realitas” berikut ini: (1) hakikat benda-benda fisik dan persepsi kita perihal benda-benda ini (warna, misalnya); (2) hakikat benak dan identifikasi yang tepat perihal obyek-obyek mental; (3) hakikat ruang dan waktu, dan hubungan-hubungan di dalam ruang dan waktu (umpamanya: kausalitas, nasib, dan kebebasan); dan (4) hakikat entitas-entitas abstrak (contohnya: bilangan, dunia nirmustahil, dan Tuhan). Masalah sedemikian itu tidak baru; kita telah menyinggung sebagian besar dari masalah-masalah itu dalam pembahasan kita tentang metafisika klasik dan modern pada dua pekan terakhir ini, walau kadang-kadang dengan istilah lain: sifat metafisika (debat idealisme-realisme, misalnya), kodrat manusia (debat benak-badan, misalnya), dan sebagainya. Nama-namanya bisa berubah, dan metode yang dipakai oleh para filsuf kontemporer untuk menghadapi masalah-masalah tersebut cenderung semakin rumit, namun tema-tema pokoknya masih belum berubah.
Lantas, bagaimana masa depan “akar-akar” filsafat itu kala kita masuki milenium baru ini? Terdapat banyak hal yang dijalani demi metafisika selama seabad ini yang sayangnya [hanya] sedikit lebih baik daripada kemunduran pada filsafat Skolastik yang secara khas dipraktekkan di Abad Pertengahan. Di zaman ini agaknya sungguh-sungguh tiada filsafat yang diperuntukkan bagi setiap orang yang berada di luar dunia akademis. Saya yakin, satu-satunya cara untuk mencegah akhir yang tragis itu adalah belajar dari ajaran Kant yang dicoba disampaikan di Kritik pertamanya. Tujuan penyusunan epistemologinya, yang oleh banyak filsuf masih diakui sebagai yang paling lengkap dan beralasan kuat, adalah meletakkan metafisika “pada jalan ilmu yang meyakinkan” (CPR 21). Maksudnya adalah bahwa kita menelaah metafisika itu semata-mata untuk mengakui kebebalan kita akan realitas terdalam. Segera sesudah ini diselesaikan, kita jangan sampai tergoda untuk terus mencari jawaban di tempat yang salah, agar tidak mencabut akar pohon kita (yang berarti menumbangkannya) atau pun menanam kepala kita sendiri di tanah (yang berarti mematikan potensinya akan wawasan yang lebih lanjut). Sebagai tukarannya, untuk mendapatkan sesuatu yang menyerupai “pengetahuan” tentang bagaimana pertanyaan-pertanyaan tentang kebermaknaan-hidup harus dijawab, satu-satunya jalan adalah menerima bahwa jawaban-jawaban itu tidak mungkin terdapat di metafisika, tetapi di bagian lain dari pohon filsafat. Memahami bagaimana itu menjadi nirmustahil merupakan perhatian utama kita di Bagian Dua dan di keseluruhan matakuliah ini.
PERTANYAAN PERAMBAH
1. 1. A. Apakah anda merasa pasti atas apa saja?
B. Mungkinkah bahwa 2+2=4 bisa diragukan?
..............................
..............................
2. 2. A. Mungkinkah realitas terdalam bisa diketahui?
B. Tepatkah filsuf memanfaatkan keimanan?
..............................
..............................
3. 3. A. Mitos lama apakah yang digantikan oleh filsafat Kant?
B. Apakah benak itu pada aktualnya memaksakan sesuatu pada obyek yang kita alami?
..............................
..............................
4. 4. A. Metode filsafat yang ideal itu yang bagaimanakah?
B. Apakah rendah hati itu? Bisakah rendah hati itu dijalani dengan lengkap?
..............................
..............................
BACAAN ANJURAN
1. 1. Renè Descartes, Meditations on First Philosophy 2nd Edition, terj. Laurence J. Lafleur (New York: Bobbs-Merrill, 1960[1951]).
[vi][6]
2. 2. Gilbert Ryle, The Concept of Mind (New York: Barnes & Noble, 1949), Bab I, “Descartes’ Myth”, pp. 13-25.
3. 3. Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, “Preface” (kedua edisi) (CPR 7-37).
[vii][7]
4. 4. Immanuel Kant, Prolegomena to Any Future Metaphysics, terj. Lewis White Beck (New York: The Bobbs-Merrill Company, 1950).
[viii][8]
5. 5. Stephen Palmquist, Kant’s System of Perspectives: An architectonic interpretation of the Critical philosophy (Lanham: University Press of America, 1993), Bab IV-VI, pp. 107-193.
[ix][9]
6. 6. Will Durant, The Story of Philosophy: The lives and opinions of the greater philosophers 3rd Edition (New York: Simon and Schuster, 1982[1928]).
7. 7. John Passmore, A Hundred Years of Philosophy 2nd Edition (Harmondsworth: Penguin, 1966[1957]).
8. 8. Michael Jubien, Contemporary Metaphysics: An introduction (Oxford: Blackwell Publishers Ltd, 1997).
Catatan Penerjemah

[i][1] Anak-kalimat ini merupakan saduran, sepersetujuan Palmquist, dari teks “no human being is perfect, so the perfect Being is not the “I” of whose existence I am certain;”
[ii][2] Palmquist belum menjelaskan arti garis putus-putus yang terdapat di dalam gambar. Penjelasannya adalah sebagai berikut.
Garis putus-putus itu untuk menunjukkan penekanan perbedaan dua metode “pemecahan” masalah benak-badan. Argumen yang berbasis “Tuhan” adalah yang rasional, yang karenanya berfokus pada apa yang disediakan oleh benak kepada kita. Argumen berbasis “kelenjar kerucut” adalah yang biologis, yang berfokus pada apa yang disediakan oleh badan kepada kita. Garis putus-putus itu juga menunjukkan bahwa kedua argumen tersebut merupakan upaya untuk menjembatani celah di situ, namun gagal lantaran masing-masing hanya berfokus pada satu sisi persamaan.
[iii][3] Menurut Palmquist, “obyektivitas mutlak” bisa dibaca sebagai “eksistensi yang independen secara mutlak”. Intinya, dengan mendalilkan bahwa dunia mental kita terpisah total dari dunia fisis, namun bersikeras bahwa kedua jenis dunia ini sama nyatanya (walau substansinya berlainan), pada dasarnya Descartes menetapkan sesuatu yang di kemudian hari dikenal sebagai “pandangan dunia ilmiah”.
[iv][4] Tentu saja ada kemungkinan bahwa satu sisi benar total, sedangkan sisi lainnya salah total, atau bahwa kedua sisi salah total. Jika itu terjadi, maka “metode Kritis” tidak dibutuhkan. Akan tetapi, dalam pandangan Palmquist, kasus semacam itu relatif jarang. Yang ia maksud (dan yang sekarang ia terangkan di kelasnya, tahun 2001) adalah bahwa dalam pembahasan filosofis yang serius, ketika dua pihak, atau lebih, yakin bahwa klaim mereka (yang berlawanan) masing-masing benar, pemicu perdebatan itu hampir selalu berupa perbedaan perspektif. Ia mengharap bahwa pembaca mengasumsikan bahwa pihak-pihak yang berdebat itu sama-sama memiliki “fakta yang benar” namun masih tidak sepakat. Singkatnya, metode Kritis adalah alat filosofis (untuk menilai perspektif), bukan alat ilmiah (untuk menilai fakta).
[v][5] Perihal Gambar III.8a, saya mempunyai wawasan sebagai berikut. Gambar ini, bila Matahari merupakan forma obyek, yang dikombinasikan dengan satu gambar bumi yang dikelilingi oleh bulan (= bahan obyek), melambangkan idealisme Plato dan realisme Aristoteles. Plato mungkin mengklaim bahwa kita biasanya hidup di “malam hari” dengan sinar bulan yang hanya merupakan pantulan (ilusi) dari sumber sinar sejati. Padahal, menurut Plato, realitas universal (tunggal) itu terdapat di “siang hari” dengan cahaya matahari yang merupakan sumber sinar sejati. Akan tetapi, Aristoteles mungkin melihat bahwa matahari merupakan salah satu bintang, dan bahwa bintang-bintang dan bulan lebih terlihat di malam hari. Maka Aristoteles memandang bahwa realitas-realitas partikular (jamak) itu justru terdapat di “malam hari”.
Wawasan tersebut disetujui oleh Palmquist. Bahkan ia menilai bahwa upaya pengaitan “gua Plato” dengan Gambar III.8 adalah “hebat”, sedangkan pembandingan gambar tersebut dengan realisme Aristoteles bisa dinilai “bagus”).
[vi][6] Untuk alternatif, lihat http://www.utm.edu/research/iep/text/descart/des-med.htm
[vii][7] Untuk alternatif, lihat http://www.hkbu.edu.hk/~ppp/cpr/prefs.html
[viii][8] Untuk alternatif, lihat http://www.utm.edu/research/iep/text/kant/prolegom/prolegom.htm
[ix][9] Untuk alternatif, lihat http://www.hkbu.edu.hk/~ppp/ksp1/KSP4.html http://www.hkbu.edu.hk/~ppp/ksp1/KSP5.html http://www.hkbu.edu.hk/~ppp/ksp1/KSP6.html


Send comments (in English) to:
StevePq@hkbu.edu.hk

Back to the Index of
Pohon Filsafat.

Back to the English version of
The Tree of Philosophy.

Back to the listing of
Steve Palmquist's published books.

Back to the
main map of Steve Palmquist's web site.

This page was first placed on the web on 27 April 2003.