Rabu, 14 Januari 2009

Filsafat Politik; pengantar pemikiran Soekarno vis a vis Soeharto

Pendahuluan
Dalam kajian ilmu Filsafat, kata politik pertama kali dikenal dari buku Plato yang berjudul Politeia atau yang dikenal dengan republik. Menurut beberapa ilmuan, pemikiran ini dianggap sebagai pangkal dari pemikiran politik yang berkembang kemudian.
Konsepsi politik cenderung mengaitkan politik dengan negara, yakni dengan urusan pemerintahan pusat maupun daerah. Dari asumsi ini penulis menyimpulkan bahwa hakikat politik adalah kegiatan yang berada pada sekitar institusi politik yang dimanifestasikan oleh aktor-aktor politik, seperti tokoh-tokoh pemerintahan yang ada pada tingkatan eksekutif maupun legislatif. Namun, secara empirik hakikat politik bermakna bahwa politik adalah segala aktifitas yang berhubungan dengan kekuasaan dengan tujuan untuk mempengaruhi, dengan jalan mengubah atau mempertahankan suatu bentuk atau tatanan sosial masyarakat.
Dalam Tulisan ini, ketika Soekarno berdiri sebagai penguasa negara Republik Indonesia, branding image yang dilakukan menggunakan teori-teori serta kombinasi dari strategi kepemimpinan dalam logika Jawa dan militer. Begitu juga dengan Soeharto, tidak jauh berbeda strategi yang digunakan untuk merebut, menggunakan serta mempertahankan kekuasaannya. Teori militer yang digunakan Soekarno dan Soeharto adalah; Pertama, Moderator pretorian, yakni sifat konservatif militer yang memiliki hak veto terhadap pemerintah sipil yang berkuasa hingga selalu dicurigai oleh militer. Keduan Pengawal Pretorian, yakni pembangkangan dan merong-rong kekuatan dari dalam hingga akhirnya dapat berkuasa.
Ketiga Penguasa Pretorian, yakni penguasa dengan logika nalar kekuasaan yang menjajah nalar berpikir serta perilaku dengan cara mendominasi rezim yang berkuasa. Hal yang sama terjadi pada Soekarno dan Soeharto, sekilas pemikiran beberapa tokoh di atas mempunyai kesamaan cara pandang sebagai acuan gerak langkah politik kedua presiden tersebut. Beberapa paparan singkat tentang teori di atas, penulis akan menjadikan teori tersebut sebagai pisau analisa untuk melihat permasalahan gerakan politik penguasaan negara Soekarno dan Soeharto sebagai eksposisi gerakan politik pada masanya.

Pembahasan
a. Soekarno dan Soeharto


Secara umum, eksposisi politik memberikan gambaran bahwa politik dalam kontek yang lebih luas mencerminkan akomodasi terhadap hasil realitas yang dialektis. Politik sering memberikan justifikasi terhadap kekuasaan. Menurut Soekarno, politik adalah proses machtsvorming dan machtsanwending, suatu ikhtiar “pembentukan kekuasaan-dan penggunaan kekuasaan”[1]. Definisi itu memang mengesankan, bahwa poltik adalah suatu kesibukan mengurusi kekuasaan, dalam suatu pergulatan, atau persaingan yang menegangkan.
Kepemimpinan Soekarno sebagai presiden atau kepala negara diawali dengan digelarnya konferensi para ulama yang disponsori oleh Menteri Agama Kyai Masykur, salah seorang tokoh NU. Konferensi ini menetapkan Soekarno sebagai kepala negara/presiden “Waliy al-amr al-dlarury bi al-syawkah”[2] (pemegang kekuasaan temporer dengan kekuasaan penuh). Pijakan berpikir yang digunakan mereka ini adalah bahwa negara telah terwujud dan bagaimanapun harus ada kepala pemerintah yang sah. Secara eksplisit, logika pendekatan fiqh telah dimainkan secara signifikan. Ketika Soekarno dianggap sebagai pemimpin yang sah, maka Soekarno berhak untuk menetapkan kebijakan-kebijakannya termasuk gagasan besar Demokrasi Terpimpin.
Soeharto sebagai presiden kedua, dengan segala kemampuan dan kecerdikannya telah mengubah konstelasi politik nasional. Perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Soeharto ditandai dengan adanya sidang kabinet pada tanggal 11 Maret 1966 yang dikepung oleh demonstrasi mahasiswa. Perebutan kekuasaan ini memuncak ketika Soeharto menerima Surat Perintah 11 Maret (SUPERSEMAR).[3] Pada saat itulah penelikungan terhadap Soekarno dilakukan. Selanjutnya Soeharto sang supersemar mengumumkan kepres terkait dengan pembubaran PKI yang disinyalir sebagai garda depan politik Soekarno.
Dalam dua kali masa pemerintahan presiden ini pula, bangsa Indonesia telah menjadi saksi sejarah atas perilaku politik kekuasaan yang bersifat otoriter dengan derajat yang berbeda walaupun sempat diselingi dengan empat tahun pemerintahan yang demokratis, yakni pada tahun 1955-1959[4], atau sistem pemerintahan Demokrasi Parlementer yang telah tercatat dalam sejarah sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia. Selama masa pemerintahan mereka, kecuali tahun 1955-1959, mereka menunjukkan pola kepemimpinan yang relatif sama, bahkan Soeharto juga mewarisi pandangan Soekarno dalam beberapa hal..
Dengan semangat revolusi, anti imperialisme dan kolonialisme dalam menata sistem pemerintahan dan membentuk karakter bangsa harus ternodai karena tuduhan-tuduhan lawan politiknya. Namun terlepas dari kepentingan pribadinya, Soekarno layak mendapatkan penghargaan dengan sikap politik dan kebudayaan sebagai nation and character building yang di jadikan senjata untuk menolak keberadaan imperialisme Barat. Grand designe ini mengidealkan sistem kepemimpinan yang satu, kepemimpinan yang berada pada sosok presiden sebagai penguasa dalam segala bidang.
Adalah Demokrasi Terpimpin sebagai jargon politik yang dikembangkan Soekarno untuk menata kemakmuran serta kesatuan Republik Indonesia. Sistem inilah yang diyakini Soekarno, agar rakyat Indonesia tetap dalam satu komando, sehingga meminimalisisir konflik etnis serta mampu mengilhami rakyat Indonesia dengan semangat persatuan dan kesatuan. Lebih dari itu, semangat Demokrasi Terpimpin sebenarnya adalah upaya membentuk karakter khas bangsa Indonesia yang mengedepankan musyawarh, mufakat serta gotong royong. Simbol Demokrasi Terpimpin mulai dominan sejak pertengahan tahun 1958[5]. Selain itu pula Soekarno juga melontarkan beberapa gagasan serta konsepsi Presiden sebagai penunjang konstitusi sistem tersebut. Tahapan-tahapan perjuangan yang dilakukan Soekarno pada akhirnya menjadi split politik yang harus dibayar mahal. Maka terjadilah kekacauan politik yang mengantarkan Soekarno pada tahap kehancuran, kehancuran bersama sistem dan strategi yang diciptakan olehnya.
Inilah awal ketegangan yang akan terus berlanjut dikemudian hari. Krisis politik ini dimatangkan lagi oleh krisis ekonomi sekitar 1954-1959[6]. Tingkat inflasi tinggi yang merupakan indikator makro stabilitas ekonomi, menurunkan tingkat daya beli yang menurunkan tingkat kesejahteraan. Tanpa harus memperdebatkan bagaimana tingkat kesejahteraan diukur, terlepas dari sempat atau tidaknya Soekarno untuk mengurus ekonomi, senyatanya persoalan kemiskinan belum bisa ditanggulangi. Krisis multi dimensional dengan segala varian yang melengkapinyapun terjadi.
Implikasi dari instabilitas politik dan ekonomi mengharuskan adanya rotasi kekuasaan dari era orde lama yang diwakili Soekarno menuju era orde baru yang diwakili Soeharto, meski tidak semata-semata persoalan itu, tapi secara garis besar rotasi kekuasaan itu bisa disimpulkan karena faktor tersebut. Sejarah mengungkapkan, bahwa langkah-langkah yang telah mengantarkan kondisi Indonesia saat itu menjadi fakta yang tidak terelakkan oleh masyarakat Indonesia dalam menghadapi era transisional.
Era Soeharto, yang disebut sebagai era Orde Baru sejak tahun 1968, dibangun atas dasar mekanisme carrot and stic[7]. Yakni, pemberdayaan atas lembaga-lembaga negara untuk menciptakan stabilitas politik nasional. Soeharto juga memaksakan depolitisasi terhadap masyarakat untuk membangun perekonomian yang kokoh[8]. Maka ketika para penguasa Orde Baru mengukuhkan diri sebagai penentu langkah kehidupan Indonesia yang penuh dengan rekayasa sejak 1966, maka, politik adalah suatu yang dikecam dan diharamkan. Satu alternative dari para penguasa Orde Baru adalah depolitisasi terhadap masyarakat.
Jargon-jargon politik yang diterjemahkan melalui sendi-sendi kehidupan masyarakat semakin mewarnai langgam politik Indonesia. Namun, sekuat dan sehebat apapun kekuatan politik Soeharto dalam mengendalikan kekuasaan negara akhirnya runtuh pula. Lambat laun, sistem yang diciptakan Soeharto mulai rapuh dan menjadi bom waktu bagi Soeharto sendiri. Kejatuhan Soeharto merupakan hasil dari meningkatnya krisis legitimasi rezim Orde Baru. Krisis legitimasi terpusat pada friksi yang terus berlangsung di lingkaran elit penguasa dan meningkatnya gerakan oposisi dari bawah. Friksi internal elit mulai merusak keutuhan oligarki kekuasaan diakhir 1980-an[9]. Pada proses berikutnya, oligarki kekuasaan juga mulai terbelah dengan adanya batasan aktivitas politik yang dilakukan oleh oposisi kelas menengah. Namun, opini apapun yang mendasari pengunduran Soeharto, semua dapat disimpulkan karena krisis legitimasi sebagai konsekuensi yang harus diterima.
Bagaimanapun juga, yang lebih menarik dalam pembahasan ini adalah upaya perebutan kekuasaan dari generasi ke generasi. Gerakan politik penguasaan negara oleh dua pemimpin ini memang didukung oleh beberapa elemen penting, Soekrano maupun Soeharto hampir menggunakan strategi politik yang sama. Seperti mekanisme kontrol terhadap institusi-institusi politik dan lainnya selalu dilakukan untuk menopang kekuatan, baik untuk meraih maupun mempertahankan kekuasaan yang telah diraihnya. Praktik politik Demokrasi Terpimpin ala Soekarno dan developmentalisme ala Soeharto adalah sikap politik represif dan otoriter, kedua periode tersebut meninggalkan jejak negatif pada bangsa Indonesia.
Kepemimpinan politik pada era Soekarno dan Soeharto boleh dikatakan sama. Praktik politik dua presiden tersebut memang berangkat dari refleksi politik yang begitu panjang. Presiden Soekarno yang mewakili era Orde Lama memang mempunyai keinginan untuk menciptakan stabilitas politik guna mempertahankan persatuan dan kesatuan Negara Republik Indonesia. Demokrasi Terpimpin adalah tawaran alternatif setelah menemukan kebuntuan konstitusi (constitutional constraint) pada saat itu. Namun pada prosesnya justru terjebak pada benturan-benturan kepentingan politik yang ada. Strategi ini berbeda dengan apa yang dijadikan dasar Soeharto dalam politik penguasaan negara. Soeharto justru lebih menitik beratkan pada politik pembangunan yang mencakup seluruh sendi kehidupan masyarakat, terutama pembangunan di sektor ekonomi. Mind set tentang developmentalisme, selain mengantarkan Soeharto pada kejayaan Orde Baru selama 32 tahun lamanya, juga sebagai alat legitimasi atas sikap militer bahwa, stabilitas politik merupakan persyaratan dalam menjalankan roda pembangunan ekonomi.[10]

Analisis
b. Persamaan Gerakan Politik

Pada zaman Soekarno, menuntut keadilan itu kontra-revolusi. Pada zaman Soeharto, menuntut keadilan itu dilarang. Sebagai penguasa politik, keduanya mempunyai aspek persamaan yang signifikan, keduanya tampak begitu represif dalam menjalankan kekuasaannya.
Kepemimpinan Soekarno sebagai presiden/kepala negara diawali dengan digelarnya konferensi para ulama yang disponsori oleh Menteri Agama Kyai Masykur, tokoh NU, telah menetapkan Soekarno sebagai kepala negara “waliy al-amr al-dlarury bi al-syawkah”[11] (pemeganng kekuasaan temporer dengan kekuasaan penuh). Pijakan berpikir yang digunakan mereka ini adalah bahwa negara telah terwujud dan bagaimanapun harus ada kepala pemerintah yang sah. Secara eksplisit, logika pendekatan fiqh telah dimainkan secara signifikan. Ketika Soekarno dianggap sebagai pemimpin yang sah, maka Soekarno berhak untuk menetapkan kebijakan-kebijakannya termasuk gagasan besar Demokrasi Terpimpin.
Dalam politik penguasaan negara, bahkan pra dan pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959, secara konstitusional ia adalah kepala negara dari sebuah sistem politik presidensil, dan sebagaimana dalam pidatonya ia juga suka mengatakannya sebagai Penyambung Lidah Rakyat dan Pemimpin Besar Revolusi. Maka, apapun corak penilaian sejarah atau politik terhadap Dekrit Presiden 5 Juli 1965 sebagai cikal bakal terbentuknya sistem Demokrasi Terpimpin, secara empiris harus dikatakan juga bahwa dalam episode ini Soekarno dengan sadar menjadikan dirinya sebagai perpaduan dari legitimasi konstitusional dengan keharusan dan kesahihan ideologis. Karena itu, barangkali tidaklah terlalu berlebihan kalau dikatakan bahwa dari sudut kajian sejarah, episode Demokrasi Terpimpin bisa pula diperlakukan sebagai rumah kaca bagi penyelidikan kepemimpinan politik Soekarno.
Demokrasi Terpimpin ditandai dengan semakin kuatnya kedudukan politik Soekarno, TNI AD, dan PKI. Sebagai katalisator. Soekarno mengambil langkah perimbangan antara dua kekuatan politik agar terhindar dari kemungkinan terjadinya konflik. Ada kemungkinan koalisi ini melibatkan TNI AD sebagai benteng pertahanan sebagai wujud dari peran dan fungsi militer dalam politik kebangsaan. Semangat propaganda anti imperialisme dan neo-kolonialisme sebagai konstruksi mentalitas bangsa yang merdeka membutuhkan kekuatan revolusioner yang mendukung gagasan tersebut. Di sinilah Soekarno merangkul PKI untuk memperkuat dukungan politiknya. Bagaimanapun juga TNI harus merupakan sebuah kekuatan yang disegani di dalam maupun di luar negeri. Perjuangan merebut kembali Irian Barat adalah bukti bahwa TNI AD mempunyai peran penting dalam mempertahankan NKRI sebagai gerakan politik kebangsaan. Bukankah pula ancaman kekuatan anti-revolusioner, sebagaimana dirumuskan Manipol-USDEK (dokumen politik yang dikatakan Soekarno sebagai hadis-nya Pancasila) masih gentayangan? Sedangkan PKI bukan saja sebuah kekuatan revolusioner yang diyakini Soekarno bisa dijinakkan, tetapi juga sebuah partai yang dianggapnya bisa memahami orientasi pemikirannya.
Dalam kontek fiqh siyasyah, mempertahankan suatu bangsa dari kehancuran dan penjajahan adalah kewajiban seluruh ummat. Sebagaimana dalam Islam yang menganjurkan suatu kaum untuk berperang menyelamatkan orang-orang tertindas dan orang-orang lemah di muka bumi. Sebagaiman dalam Al-Quran disebutkan:[12]
وما لكم لا تقتلون فى سبيل الله والمستضعفين من الرجال والنساء والولدان الذين يقولون ربنا اخرجنا من هذه القرية الظالم اهلها واجعل لنا من لدنك وليا واجعل لنا من لدنك نصيرا
Dari sinilah Islam memberikan tanggung jawab politik kepada setiap umat yang hidup dalam satu daulah yang di pimpin oleh Imam (pemimpin) untuk membela rakyat tertindas atau terjajah. Selain untuk memerangi kezaliman sosial, seorang muslim juga dituntut untuk memerangi kezaliman politik dan bentuk kezaliman lainnya,[13] dan siapapun pelakunya. Menurut Soekarno dalam wasiatnya, bahwa “hak tak dapat diperoleh dengan mengemis, hak hanya dapat diperoleh dengan perjuangan”.[14] Atas dasar itulah perjuangan membentuk mentalitas rakyat dan bangsa yang merdeka (dalam bingkai kemerdekaan yang semestinya) agar terhindar dari disintegrasi yang diinginkan kolonialisme menjadi penting bahkan wajib.
Pandangan tentang sesuatu hal yang tiba-tiba menjadi wajib hukumnya untuk dilakukan sebagaimana dalam kaidah fiqh dijelaskan;[15]
مالا يتم الواجب الابه فهو واجب
Maka doktrin masyarakat kapitalis yang ditolak oleh Soekarno adalah mengabaikan hak-hak orang miskin dan menjajah suatu bangsa. Tanpa mentalitas dan i’tikad revolusioner semuanya tidak sempurna dilakukan melainkan dengannya, maka konstruksi mentalitas yang mandiri dan merdeka (free will) sebagai wujud dari nasionalisme menjadi wajib hukumnya.
Namun dengan kemunculan dekrit sebagai cikal dari Demokrasi Terpimpin, sentralisasi kekuasaan dalam kontek hubungan pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah dan pengertian yang luas semakin tak terbendung. Sebagai bukti, Soekarno telah mengeluarkan kebijakan yang mengarah ke sentralisme kekuasaan. UU No. 1 Tahun 1957 yang memiliki roh otonomi luas dicabut, dan digantikan dengan Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959 yang cenderung bersifat sentralistik.[16] Dengan adanya kebijakan semacam ini, menurut penulis, daerah tidak diberikan kebebasan dalam mengatur rumah tangganya sendiri, segalanya ditentukan oleh pemerintahan pusat. Termasuk dalam pemilihan kepala daerah diputuskan oleh Presiden dan Mendagri. Lembaga presiden memiliki beberapa otoritas dalam mengatur segala bentuk pranata kenegaraan, kedaerahan dan segi kehidupan lain. Akhirnya, dis-fungsi kekuasaan serta otoritas lembaga legislatif menjadi suatu hal yang tidak terbantahkan.
Kecenderungan untuk melestarikan sentralisasi kekuasaan terus berlanjut pada masa Orde Baru Soeharto. Kondisi politik yang buruk menjadi alasan yang rasional bagi rezim tersebut untuk tetap menerapkan kebijakan pendahulunya yang sentralistik. Dalam rangka menerapkan politik stabilitas tersebut, rezim Soeharto menggunakan dua pendekatan. Pertama, peningkatan instrumen kekerasan/militer. Rezim ini seringkali menggunakan pendekatan keamanan dalam penyelesaian setiap masalah antara negara dan masyarakat. Kedua, penataan birokrasi menjadi bergantung ke atas. Hal ini untuk memastikan adanya loyalitas tunggal.
Kehidupan bernegara menjadi semakin sentralistik ketika dikeluarkan UU No. 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah.[17] Pada tahun 1974, dengan diberlakukannya undang-undang tersebut, Orde Baru membentuk landasan legal bagi pola dominasi pusat ini.[18] Dengan undang-undang inilah Soeharto dengan Orde Baru menetapkan hubungan antara pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagai langkah baru yang memperkuat kecenderungan sentralisasi yang telah dimulai oleh Soekarno di era Orde Lama. Undang-undang yang berlaku selama pemerintahan rezim Orde Baru ini pada prinsipnya tidak pernah mengakui eksistensi pemerintah daerah. Segalanya bergantung ke atas. Elit-elit daerah pada masa rezim ini hanyalah merupakan boneka yang sepenuhnya dikendalikan oleh pemerintah pusat.
Perihal konfigurasi politik dikategorikan sebagai politik non demokratis. Tidak jauh berbeda atau bahkan sama persis antara rezim Soekarno dan rezim Soeharto. Dalam dua periode ini, otoritarianisme politik berada pada tingkatan elit yang berada di pusat, sedangkan di daerah hanyalah merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah pusat untuk menjadi police maker dalam program perjuangan politik pemerintah atau kedua rezim tersebut.
Sentralisasi kekuasaan pada dua periode pemerintahan mempunyai dampak signifikan, seluruh instrumen kenegaraan telah tereduksi dan menjadi pendukung bagi adanya loyalitas tunggal. Dalam hal birokrasi misalnya, lintasan sejarah politik Indonesia mencatat sejak zaman pra kemerdekaan, Orde Lama Soekarno, Orde Baru Soeharto, ada indikasi yang menunjukkan kecenderungan pola berulang tentang birokrasi dan politik yaitu agar birokrasi berpolitik atau menjadi mesin politik kekuasaan bagi para penguasa. Pada dasarnya, birokrasi yang ideal adalah menjadi fasilitator dan pelayan publik yang professional untuk semua golongan.[19] Namun, secara factual sejak era Orde Lama Soekarno dan era Orde Baru Soeharto, birokrasi relatif menjadi instrumen politik untuk mencapai logika kekuasaan, yaitu, meningkatkan, memelihara
dan memperluas kekuasaan aktor, elite atau faksi politik tertentu.
Pada era Orde Lama Soekarno, birokrasi cenderung menjadi faksi-faksi dan mesin politik bagi PNI, NU dan lain-lain. Politisasi birokrasi yang berwujud pengaplingan atau pengisian jabatan pegawai di departemen-departemen oleh partai-partai politik. Departemen Dalam negeri dikapling oleh orang-orang dari PNI, sedang Departemen Agama dikapling oleh orang-orang dari partai NU.[20] Profesionalitas birokrasi semakin jauh dari peran dan fungsi sebenarnya, karena secara kelembagaan birokrasi sudah terkooptasi oleh kepentingan elit partai politik.
Meski dengan adanya rotasi kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto, orientasi birokrasi tetap tidak berubah. Pada awal pemerintahan Orde Baru Soeharto, pegawai negeri sipil menjadi kekuatan politik. Untuk mempertahankan status quo, pemerintah menggunakan Golongan Karya sebagai salah satu penopangnya. Birokrasi terjebak pada monoloyalitas yang mendukung Golkar dalam beberapa pemilihan umum. Selain itu, pada dua periode pemerintahan (Soekarno-Soeharto) birokrasi mempunyai peran yang penting dan sangat menonjol seiring dengan melemahnya kekuatan partai politik dan parlemen. Sentralisasi kekuasaan didukung penuh oleh sistem birokrasi yang berpolitik dan menjadi instrument hegemonik berupa aparatur ideologis yang mendukung otoritarianisme.
Secara politik, birokrasi adalah ruang pembinaan politik, secara ekonomi, birokrasi adalah penopang pembangunan ekonomi nasional.[21] Sebagai hasilnya, proses demokratisasi terhambat, kesadaran rakyat akan hak politiknya cenderung dibatasi, dan kontrol partai politik secara vertikal tidak memiliki ruang sedikitpun. Secara universal, peranan serta fungsi birokrasi pada dua periode pemerintahan ini tidak memiliki perbedaan signifikan.
Namun, di balik kesan kuat adanya keterputusan antara Orde Lama dan Orde Baru, terdapat pula beberapa kontinuitas yang cukup penting. Pertama, dua-duanya sangat anti terhadap hal-hal yang dapat menyebabkan disintegrasi bangsa, dua-duanya dapat dikatakan sangat nasionalis dalam hal itu. Dengan demikian, baik Soekarno maupun Soeharto amat mementingkan retorika persatuan dan kesatuan.[22] Bahkan, sejak 1956, Soekarno sudah menuduh partai politik di Indonesia pada waktu itu sebagai biang keladi terpecah-belahnya bangsa. Bahkan dalam pidatonya, Soekarno sempat mengajak rakyat untuk mengubur partai-partai yang dianggap terlalu mementingkan kepentingan kelompok dan abai terhadap kepentingan bangsa negara yang lebih luas.
Pada prinsipnya, partai politik berfungsi sebagai kontrol pemerintahan suatu bangsa, namun jika keberadaan partai politik hanya menjadi sampah bagi pembangunan fondasi persatuan dan kesatuan bangsa yang merdeka, maka menghilangkannya adalah suatu keharusan. Tapi jika keberadaan partai politik menjadi penting bagi pembangunan bangsa serta kemaslahatan bagi rakyat maka membubarkannya adalah kemungkaran. Dalam Islam perintah untuk berbuat kebajikan dijelaskan sebagaiman yang telah diidentifikasi oleh Allah melalui firman-Nya[23]:
وامروا بالمعروف ونهوا عن المنكر ولله عقبة الامور
Dengan mengubur partai politik, Soekarno menganggap bahwa bangsa Indonesia dapat kembali kepada rel revolusi yang sejati dengan semangat persatuan. Soeharto bahkan dikenal lebih anti terhadap partai politik, dengan merekayasa sebuah sistem yang pada dasarnya didominasi oleh satu partai negara atau partai pemerintah, yakni Golkar, dan dua partai pajangan yakni, Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia.
Rekayasa itulah adalah penyimpangan yang tidak dibenarkan, sebab pada prinsipnya partai politik adalah alat modern untuk menghindari perilaku penguasa yang dispotik. Islam melarang penyimpangan-penyimpangan terlebih pemimpin yang melakukannya. Dari penyimpangan-penyimpangan itulah gerakan “Amar ma’ruf nahi mungkar” menjadi suatu keharusan, dalam kontek kekinian langkah itu dapat kita tempuh dengan menggunakan kekuatan partai politik sebagai fungsi kontrol terhadap penyimpangan yang telah dilakukan oleh seorang pemimpin/penguasa.
Pembubaran partai demi persatuan dan kesatuan bangsa dibenarkan dalam kontek pembentukan NKRI sesuai dengan amanah UUD 1945, di samping itu keterlibatan partai politik pada awal kemerdekaan selalu terjebak pada “power oriented”. namun sikap anti terhadap partai politik adalah wujud penyimpangan. Karena anti terhadap partai politik tidak lebih dari anti terhadap kemaslahatan ummat. Dalam perspektif Fiqh as-Siyasah atau (al-Fiqh as-Siyasyi), upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dirumuskan dalam suatu kaidah[24]:
تصرف الإمام على الرعـية منوط بالمصلحـﺔ

Teori ini mengatakan bahwa, kepala negara atau pemerintah sebagai pemegang kekuasaan eksekutif (as-sulthan at-tanfidziyyah) memiliki wewenang penuh untuk mengambil kebijakan yang menyanngkut kehidupan publik berdasarkan pertimbangan kemaslahatan ummat. Menurut Abd al-Wahab Khalaf, kaidah di atas dapat dijadikan sebagai landasan teori hukum atau referensi untuk pengambilan keputusan hukum aktual, apabila memenuhi tiga kriteria berikut ini. Pertama, maslahah itu bersifat essensial, yakni kepentingan yang secara praksis dapat mewujudkan kesejahteraan umum dan mencegah timbulnya kerusakan. Kedua, maslahah itu ditujukan pada kepentingan rakyat banyak, bukan individu. Ketiga, maslahah itu tidak bertentangan dengan ketetentuan atau dalil-dalil umum nash.[25] Setidaknya kepentingan esensial yang diperlukan di atas sejalan dengan dirumuskannya lima tujuan syari'ah meskipun tidak tercover secara Kaffah, lima tujuan tersebut yaitu: memelihara kemaslahatan agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan, dan memelihara harta dan kehormatan.[26]
Terlepas dari kebenaran atau sebaliknya, inilah persamaan konsep dan gerakan politik sebagai upaya bina bangsa (building nation) yang telah mereka lakukan. Tapi tampaknya, perubahan sistem atau rezim politik tidak membawa dampak bagi perubahan kehidupan sosial politik di Indonesia. Padahal, sebenarnya tidaklah demikian. Perubahan tatanan baru jelas memberikan sebuah harapan baru pula. Mungkin tidak untuk Indonesia, meski dengan adanya rotasi kekuasaan, rezim yang ada masih tetap otoriter. Atas dasar inilah, kita perlu mencermati dan mengartikulasikan gerakan politik agar tetap berada pada visi kebangsaan sesuai dengan konsep al-Maslaha al-Mursalah dan tetap berpegang teguh pada prinsip baldatu thayyibatun wa rabbun ghafur dan amar ma’ruf nahi mungkar dalam kerangka cita-cita masyarakat Indonesia secara keseluruhan.[27] Oleh karenanya, agenda demokratisasi, toleransi politik dan agama, egalitarianisme sosial-ekonomi dan partisipasi politik dapat terwujud.

c. Perbedaan Gerakan Politik
Setelah revolusi nasional dan perang kemerdekaan diakhiri dengan diakuinya kedaulatan negara Indonesia, perjalanan dan pergolakan sosial dan politikpun dilanjutkan. Sebagai sebuah negara-bangsa yang berdaulat, secara otomatis Indonesia membutuhkan seorang pemimpin. Dari sinilah Soekarno dipilih sebagai presiden pertama RI secara aklamasi. Dipilihnya Soekarno sebagai Presiden tidak lebih karena keyakinan bahwa dialah yang mampu bernegosiasi dengan pihak penjajah dalam upaya bina bangsa (nation building). Soekarno sebagai Presiden pertama RI dikenal sebagai orator ulung yang dapat berpidato secara amat berapi-api tentang revolusi nasional, neokolonialisme dan imperialisme. Ia juga amat percaya pada kekuatan massa, kekuatan rakyat. Namun Soeharto sebagai Presiden kedua RI sama sekali bukan orator, jauh lebih tertutup, serta dikenal sebagai orang yang-meskipun pemerintahannya penuh dengan kasus kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN)-memimpin proses bergabung kembalinya Indonesia dengan sistem kapitalisme internasional, setelah sempat hendak diputus oleh pendahulunya. Ia juga terkesan curiga dengan kekuatan rakyat: kebijaksanaan massa mengambang Orde Baru didasari premis bahwa rakyat harus dipisahkan dari politik.
Soeharto dengan segala kemampuan dan kecerdikannya telah mengubah konstelasi politik nasional. Perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Soeharto ditandai dengan adanya sidang kabinet pada tanggal 11 Maret 1966 yang dikepung oleh demonstrasi mahasiswa. Instruksi jendral Soeharto untuk menangkap menteri dalam sidang kabinet tersebut adalah upaya perebutan kekuasaan. Perebutan kekuasaan ini memuncak ketika Soeharto menerima Surat Perintah 11 Maret (SUPERSEMAR).[28] Pada saat itulah penelikungan terhadap Soekarno dilakukan. Selanjutnya Soeharto sang supersemar mengumumkan kepres terkait dengan pembubaran PKI yang disinyalir sebagai garda depan politik Soekarno. Menurut sejarawan Suwarno (dari Sanata Dharma), Supersemar yang bersifat sementara untuk memulihkan dan menjaga stabilitas keamanan adalah mandat militer, mandat untuk melakukan operasi pengamanan, bukan mandat politik.[29] Soeharto telah menggunakan mandat militer sebagai mandat politik. Penyimpangan inilah yang dilakukan sebagai alat untuk mempengaruhi MPRS sehingga dia diberi wewenang sebagai pejabat presiden. Peralihan kekuasaan dengan cara ini yang disebut oleh pakar Hukum Tata Negara Sri Sumantri dengan kudeta.
Dari sinilah visi Indonesia sebagai bangsa berdaulat telah berubah. Teriakan revolusioner terhadap IMF, World Bank dan Kapitalisme Barat dengan kalimat “go to hell with your aid” adalah manifestasi politik dan kebudayaan (manipol-manikebu) sebagai grand design Soekarno untuk mewujudkan nation and character building. Dengan sadar Soekarno mendidik rakyatnya untuk tidak menjadi bangsa pengemis. Namun, Soeharto sebagai penerus justru mendefinisikan diri dan membawa Indonesia semakin bergantung pada kekuatan modal asing. Selama kurang lebih dari 32 tahun rezim Orde Baru Soeharto dengan trias politika Soeharto yang mencakup kekuatan ABRI, Birokrasi dan Golkar (ABG) sebagai kendaraan politiknya telah mengajarkan kita hidup mengemis utang dan bergantung pada kapitalisme Barat. Dengan cara itu rezim Orde Baru Soeharto menentukan pembangunan ekonomi dan stabilitas politik sebagai prioritas utama dan bahkan sebagai pembenaran dirinya.[30]
Dari beberapa perbedaan mendasar di atas, sebagai competiting theory atau teori pembanding dari periode pasca 1965, tipologi politik Orde Baru Soeharto adalah perpolitikan birokrasi yang digunakan sebagai instrumen kekuasaan. Menurut Harold Crouch, perpolitikan birokratik rezim Soeharto mengandung tiga ciri utama. Pertama, lembaga politik yang paling dominan adalah birokrasi. Kedua, lembaga-lembaga politik lain seperti parlemen, partai politik dan kelompok-kelompok kepentingan berada dalam keadaan lemah sehingga tidak mampu memberi langkah perimbangan dalam fungsi kontrol vertikal terhadap kekuasaan birokrasi. Ketiga, masa di luar birokrasi secara politik adalah pasif, realitas masyarakat ini banyak dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah, di samping juga disebabkan oleh kelemahan-kelemahan partai-partai politik[31] yang menyebabkan negara mampu melakukan penetrasi ke dalam masyarakat dan mengatur segala lini kehidupan. Dari analisis di atas dapat disimpulkan bahwa, di bawah pemerintahan Soeharto negara menjadi sedemikian kuat adanya dibanding pada saat negara berada di bawah pemerintahan Soekarno.
Dari realitas tersebut, akhirnya Liddle mencoba membuat pyramida kekuasaan di Indonesia yang terbagi dalam tiga jajaran utama, yaitu; Presdien dengan segala atributnya, Angkatan Bersenjata dan Birokrasi. Piramida kekuasaan inilah yang memaksa tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh institusi-institusi politik tersebut adalah menempatkan diri dalam kontek interaksi di antara ketiga institusi utama tersebut, bahkan menjadi instrumen penopang bagi pilar politik pemerintah Orde Baru Soeharto. Inilah yang menyebabkan terjadinya depolitisasi yang sangat efektif terhadap situasi politik yang ada. Menurut subyektifitas penulis, depolitisasi ini dilakukan untuk mencapai dua tujuan. Pertama, agar Soeharto dan pemerintah Orde Baru dengan mudah membentuk format politik yang sesuai dengan kehendaknya. Kedua, sebagai dasar terwujudnya stabilitas politik yang sangat diperlukan dalam rangka mensukseskan pembangunan ekonomi nasional. Dalam konteks ini, terciptanya iklim politik yang stabil adalah pra syarat bagi keberhasilan pelaksanaan pembangunan ekonomi nasional.
Menurut Myron Weiner, krisis partisipasi politik adalah suatu keadaan yang ditandai oleh anggapan tidak sah dan tidak legalnya tuntutan serta partisipasi aktif masyarakat dalam politik dan pemerintahan.[32] Sehingga berbagai berbagai macam bentuk oposisi yang bertindak sebagai kekuatan penyeimbang dan kontrol sosial masyarakat dalam penyampaian kritik, petisi, unjuk rasa mendapat tekanan yang sangat represif dari pemerintah melalui instrumen birokrasi sebagai under bow partai politik yang berkuasa. Praktis, setelah hancurnya pemerintahan Soekarno atau pasca tahun 1965, terjadi perubahan yang mencerminkan surutnya peranan partai politik, terlebih setelah tahun 1971[33], dan pemerintahan Soeharto juga berhasil mengarahkan masyarakat terhadap masalah-masalah pembangunan ekonomi. Dari beberapa perubahan secara umum, pemerintah ternyata telah berhasil mengubah sifat perdebatan politik menjadi pragmatis.
Perubahan etos di atas dapat dilihat apabila kita memperhatikan bagaimana politik pada dua periode tersebut dibicarakan. Pada tahun 1945-1965 Indonesia dalam situasi perang dingin, Indonesia menganut sikap politik bebas aktif sekaligus sebagai pemimpin dalam perjuangan melawan kekuatan kolonialisme dan neo-kolonialisme. Dalam situasi politik inilah sebuah paradigma konflik yang melihat realitas politik dan tata dunia terdiri atas pasang-pasangan konflik yang antagonistik, seperti kekuatan revolusioner melawan kekuatan kontra-revolusi, NEFO melawan Oldefo, perjuangan merebut Irian Barat dari Belanda dan konfrontasi seputar isu neo-kolonialisme dengan pembentukan Negara Federasi Malaysia sebagai proyek yang ditentang keras oleh Soekarno. Ekses dari ketegangan politik Indonesia dengan Malaysia akhirnya berujung pada keterputusan hubungan diplomatik dan memuncak dalam konfrontasi dalam slogan “Ganyang Malaysia”.
Sekali lagi, tentu ada perbedaan-perbedaan yang penting antara visi Soeharto dan Soekarno. Setidak-tidaknya retorika kekuasaan Orde Baru Soeharto di masa awal dibumbui dengan jargon-jargon teori modernisasi sebagai replika dari kolonialisme Belanda. Ironisnya, hal ini terjadi meskipun sistem politik yang hendak dibangun bercorak kepribadian nasional yang khas. Sebaliknya, retorika Soekarno seperti biasa dibumbui oleh jargon-jargon revolusioner yang cenderung romantis dan yang menekankan bersatunya pemimpin dengan rakyat.
Pada akhirnya, penulis tidaklah terlalu sulit untuk menemukan banyak kontinuitas antara Demokrasi Terpimpin sebagai gerakan politik Soekarno dan Demokrasi Pancasila-sebagai gerakan politik Soeharto, dengan perbedaan bahwa Soekarno mementingkan politik mobilisasi massa, sedangkan Soeharto justru sebaliknya. Perbedaan kedua adalah simpati Soekarno pada gerakan-gerakan anti-imperialisme, dan mungkin sebagai salah satu konsekuensi, penerimaannya pada Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai aktor politik yang sah. Soeharto sendiri menjalankan pembangunan bercorak kapitalis, termasuk dengan merangkul kekuatan-kekuatan kapitalisme terdepan di dunia, dan justru telah menutup arena politik untuk kekuatan komunisme.
Dari beberapa perbedaan dan persamaan di atas, keduanya cenderung menampilkan antithesa untuk sebuah perubahan, seperti slogan Merdeka atau Mati yang menjadi propaganda Soekarno dan slogan Politik No-Ekonomi Yes diawal kekuasaan Soeharto. Di yakini atau tidak, bahwa keduanya sangat ampuh sebagai obat untuk menyembuhkan penyakit yang tengah lama dideritanya. Perancis di bawah Louis XVI pasca revolusi, Jepang dan Jerman pasca Perang Dunia II juga mengambil sikap yang sama seperti yang ditampilkan Soekarno dan Soeharto sehingga disorientasi bangsanya dengan cepat bisa diakhiri.
Demikianlah, Soekarno dan Soeharto adalah masa lalu dengan segala perbedaan yang lengkap dengan kekurangan serta kelebihannya. Menurut penulis tidak ada seorang tokohpun yang bisa dibidik pemikirannya secara genuin tanpa menganut satu paham tokoh sebelumnya karena dalam kenyataannya banyak tokoh yang mengadopsi suatu paham tertentu untuk masalah tertentu dan paham lain untuk masalah yang lain pula. Dalam sabda nabi yang diriwayatkan oleh Abu Daud juga dijelaskan bahwa;[34]
من تشبه بقوم فهو منهم
Paparan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dapat disimpulkan bahwa betapa berharganya memiliki pola pikir dan sistem politik sendiri. Dengan demikian, tidak pula terlarang meniru suatu bentuk sistem dari orang lain dengan memperhatikan dua catatan; Pertama, dalam persoalan tersebut didapati kemaslahatan yang sebenarnya bagi umat, dan tidak membahayakan jika dalam pelaksanaannya terdapat sedikit mafsadat. Yang penting manfaat itu lebih besar dari madlaratnya. Kedua, apa yang diambil dari orang lain itu dimodifikasi dan dikembangkan sedemikian rupa sehingga sesuai dengan nilai-nilai tradisi yang terpelihara[35] , khususnya bagi Indonesia sebagai bangsa-negara yang telah berdaulat.

Penutup
Jika mengaca pada teori al-maslaha al-Mursalah, gerakan politik keduanya masih jauh dari apa yang diharapkan. Akan tetapi dalam kontek ini Soekarno lebih unggul dengan gagasan-gagasan besar yang terangkum dalam Tri Sakti yakni bebas aktif dalam politik, berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan sebagai nation and character building dari pada Soeharto yang telah membawa bangsa ini menjelma sebagai replika atau bahkan menjadi pengemis dan bergantung pada Kapitalisme Barat.
Lebih ironis lagi karena langkah ini cenderunng merusak peradaban, politik serta kebudayaan asli bangsa Indonesia. Setidaknya Soekarno dengan segala atributnya secara inplisit telah menampilkan kepentingan esensial yang diperlukan di atas sejalan dengan dirumuskannya lima tujuan syari'ah meskipun tidak tercover secara kaffah, lima tujuan tersebut yaitu: memelihara kemaslahatan agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan, dan memelihara harta dan kehormatan.


















DAFTAR PUSTAKA


Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Departemen Agama RI, 1980.
Wahid, Marzuki, Fiqh Madzhab Negara; Kritik atas Politik Hukum Islam di Indonesia,Yogyakarta: LKiS, 2001.
Abdillah, Masykuri, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi 1966-1993, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999.
Abdullah, Taufik, 50 Tahun Indonesia Merdeka, Jakarta: PT. Citra Persada, 1995
----------, Dekrit Presiden, Revolusi dan Kepribadian Nasional, harian kompas, tanggal 1 Juni 2001
Adam, Asvi Warman, “Pengendalian Sejarah Demi Kekuasaan”, Seribu Tahun Nusantara, Jakarta, 2000
As’ad, Muhammad Uhaib, “Dalam Hegemoni Negara dan Legitimasi Kekerasan”, Penjara-Penjara Politik Indonesia, Yogyakarta: LPSAS Prospek, 1999
Bob Hering, Soekarno Bapak Indonesia Merdeka, Jakarta: Hasta Mitra, 2003
Budiman, Arif, Teori Negara; Negara, Kekuasaan dan Ideologi, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002
Dhakidae, Daniel dkk, Agama dan Negara; Perspektif Islam, Katholik, Hindu, Budha, Konghucu, Protestan, Yogyakarta: Interfidei, 2002
Donnald K. Emmerson, Indonesia Beyond Soeharto; Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001
Dwipayana, G, dkk, Soeharto; Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, Jakarta: Citra Lamtoro Gung Persada, 1989
Effendi, Bahtiar, Teologi Baru Politik Islam; Pertautan Agama, Negara dan Demokrasi, Yogyakarta: Galang Press, 2001.
Feillard, Andrée, NU vis-a-vis NEGARA: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, Yogyakarta: LkiS, 1999.
Gaffar, Affan, Politik Indonesia; Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004
Hadiz, Vedi R, Soekarno, Persatuan Nasional, Orde Lama, dan Orde Baru, Harian Kompas, Tanggal 1 Juni 2001
Hasyim Wahid dkk, Telikungan Kapitalisme Global dalam Sejarah Kebangkitan Indonesia, Yogyakarta: LKiS, 1999.
Hermawan Eman, Politik Isu Tunggal; Jalan Buntu Gerakan Masyarakat Sipil, Yogyakarta: KLIK-R, 2002.
Honna, Jun, Serdadu Memburu Hantu;Ideologi Kewaspadaan di Senjakala Kekuasaan Orba, Yogyakarta: CIA, 2006
J.A, Denny, Manuver Elit, Konflik dan Konservatisme Politik, Yogyakarta: LKiS, 2006.
Kadi, Saurip, Menata Ulang System Demokrasi dan TNI Menuju Peradaban Baru, Jakarta: PARRHESIA, 2006
Ma'arif, Ahmad Syafi'i, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965, Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
----------, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, Jakarta: LP3ES, 1996.
[1] Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir 5, cet. ke-I, (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2002), hlm. 69

[2] Bahtiar Effendi, Teologi Baru Politik Islam; Pertautan Agama, Negara, dan Demokrasi, cet. ke-I (Yogyakarta: Galang Press, 2001), hlm. X
[3] Harsutejo, G 30 S, Sejarah yang Digelapkan; Tangan Berdarah CIA dan Rejim Soeharto, (Jakarta: Hasta Mitra, 2003), hlm. 137.

[4] Daliso Mangunkusumo dkk, Penjara-Penjara Politik Indonesia, cet. Ke-I, ( Yogyakarta: LPSAS Prospek, 1999), hlm. 62

[5] Herbert Feith dkk , Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, cet. Ke-I, (Kakarta: LP3S, 1988), hlm. 84.

[6] Asih dkk, Membaca Sejarah Pergerakan; Menuntaskan Transformasi Demokratik, Tradem, Edisi ke-V, (Juli 2003), hlm. 28.
[7] Affan Gaffar, Politik Indonesia; Transisi Menuju Demokrasi, cet. ke-IV, (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 148.

[8] Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir 5,_ hlm. 75.

[9] Eric Hiariej, Materialisme-Sejarah Kejatuhan soeharto, Pertumbuhan dan Kebangkrutan Kapitalisme Orde Baru, cet. I (Yogyakarta: IRE Press, 2005). hlm, 293
[10] Jun Honna, Serdadu Memburu Hantu;Ideologi Kewaspadaan di Senjakala Kekuasaan Orba, cet. I (Yogyakarta: CIA, 2006). hlm, 5
[11] Bahtiar Effendi, Teologi Baru Politik Islam; Pertautan Agama, Negara, dan Demokrasi, cet. ke-I, (Yogyakarta: Galang Press, 2001), hlm. X
[12] An-Nisa’ (4): 75

[13] Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, jilid 2, cet. ke-3, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), hlm. 907

[14] Harsutejo, G30-S, Sejarah yang Digelapkan; Tangan Berdarah CIA dan Rejim Soeharto, (Jakarta, Hasta Mitra, 2003), hlm. 156

[15] Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer,…. hlm. 959
[16] Soegeng Sarjadi Dkk, Meneropong Indonesia 2020; Pemikiran dan Masalah Kebijakan,, cet. ke-I, (Jakarta; SSS, 2004), hlm 95

[17] Ibid., hlm. 96

[18] Donnald K. Emmerson, Indonesia Beyond Soeharto; Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi, cet. ke-2, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), hlm. 133

[19] Syaufan Rozi, Zaman Bergerak, Birokrasi Dirombak: Potret Birokrasi dan Politik di Indonesia, cet. ke-I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 2

[20] Ibid., hlm. 3

[21] Ibid., hlm. 4

[22] Vedi R Hadiz, dalam 100 Tahun Bung Karno, Soekarno, Persatuan Nasional, Orde Lama, dan Orde Baru, harian kompas, tanggal 1 Juni 2001.

[23] Al-Hajj (22) : 41
[24] Umaruddin Masdar dkk, Partai Advokasi; Wacana, Keberpihakan dan Gerakan, cet ke-I (Jogjakarta; KLIK-R, 2004), hlm 12

[25] ibid
[26] ibid

[27] Bahtiar Effendi, Teologi Baru Politik Islam; Pertautan Agama, Negara, dan Demokrasi, cet. ke-I (Yogyakarta: Galang Press, 2001), hlm. 32
[28] Harsutejo, G 30 S, Sejarah Yang Digelapkan; Tangan Berdarah CIA dan Rejim Soeharto, (Jakarta, Hasta Mitra, 2003), hlm. 137

[29] Ibid, hlm. 139

[30] Donnald K. Emmerson, Indonesia Beyond Soeharto; Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi, cet. ke-2, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), hlm. 188

[31] Syaufan Rozi, Zaman Bergerak, Birokrasi Dirombak: Potret Birokrasi dan Politik di Indonesia,……hlm 21

[32] Ibid., hlm 23

[33] Herbert Feith dan Lance Castles, Pemikiran Politik Indonesia 1945-1966 , cet. ke-1, (Jakarta:LP3ES,1988), hlm. xxii


[34] Abu Daud, Al-Ausath, (Libanon: Da>r al-Fikr, 1991), juz-2, hlm. 289

[35] Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, jilid 2,..........hlm. 953

Tidak ada komentar:

Posting Komentar