Judul Buku : Strukturalisme Levi-Strauss : Mitos dan Karya Sastra
Penulis : Heddy Shri Ahimsa-Putra
Penerbit : Kepel Press, Yogyakarta, 2006
Tebal : xvi+493 Halaman
Levi-Strauss dan strukturalisme merupakan dua ikon yang tidak mungkin terpisahkan. Bahwa Levi-Strauss adalah sosok pemikir yang kemudian melahirkan inovasi baru mengenai strukturalisme, yang dari pemikirannya telah lahir penjabaran-penjabaran baru tentang strukturalisme. Di tangan Levi-Strauss strukturalisme berkembang dengan mengagumkan dan sempat menjadi trend of thought di Prancis, dan bahkan Eropa di tahun 1960-an. Hal ini kemudian menjadi tidak heran jika Levi-Strauss dianggap sebagai bapak strukturalisme Prancis.
Buku Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa Putra ini merupakan salah satu buku yang secara jelas dan tegas menggambarkan tentang peta pemikiran Levi-Strauss mengenai strukturalisme. Dalam buku ini terdapat berbagai pemaparan yang secara detail mengenai pemikiran strukturalisme Levi-Strauss. Karya sastra dan mitos merupakan salah satu objek yang dikaji secara eksplisit di dalam buku ini. Di samping hal-hal lain seperti penelitian beliau terhadap beberapa suku dan tradisi-tradisi masyarakat di belahan bumi Indonesia dan juga pemaparannya mengenai analisis struktural dan pokok-pokoknya.
Buku Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa Putra ini merupakan salah satu buku yang secara jelas dan tegas menggambarkan tentang peta pemikiran Levi-Strauss mengenai strukturalisme. Dalam buku ini terdapat berbagai pemaparan yang secara detail mengenai pemikiran strukturalisme Levi-Strauss. Karya sastra dan mitos merupakan salah satu objek yang dikaji secara eksplisit di dalam buku ini. Di samping hal-hal lain seperti penelitian beliau terhadap beberapa suku dan tradisi-tradisi masyarakat di belahan bumi Indonesia dan juga pemaparannya mengenai analisis struktural dan pokok-pokoknya.
Di dalam buku ini terbagi menjadi 10 bab dan 40 sub bab. Di mana dalam setiap bab menjabarkan mengenai masing-masing konsentrasi kajian mengenai pemikiran struikturalisme Levi-Strauss. Khusus untuk bab pertama hingga bab ketiga dalam buku ini menjelaskan secara komprehensif mengenai teori-teori struktulaisme Levi-Strauss. Kemudian dalam bab empat hingga bab sembilan dalam buku ini khusus berisi mengenai aplikasi teori strukturalisme Levi-Strauss terhadap mitos dan karya sastra yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Dan untuk bab terakhir bab sepuluh adalah bab penutup.
Untuk lebih jelas dan lebih detailnya dalam resume ini saya akan berusaha sedikit menjabarkan mengenai isi dari buku ini dan juga gagasan-gagasan besar yang disampaikan oleh Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra mengenai struktualisme Levi-Strauss. Berikut sedikit uraian mengenai buku ini :
Pertama, dalam bab pertama dalam buku ini diuraikan oleh penulis mengenai pendahuluan yang berisi pengantar dan riwayat kehidupan dari Levi-Strauss sosok pemikir utama strukturalisme. Dalam bagian pendahuluan pada bab pertama buku ini, Heddy Shri Ahimsa selaku penulis menjelaskan mengenai latar belakang penulisan buku ini dan faktor-faktor apa saja yang melandasi pentingnya penulisan buku ini.
Menurut Heddy, Levi-Strauss merupakan sosok pemikir utama yang mendapat tempat sangat terhormat dalam berbagai kajian disiplin ilmu, bukan hanya pada kajian antropologi, tetapi berbagai cabang disiplin ilmu lainnya seperti sastra, filsafat, sosiologi dan telaah seni. Melalui kesetiaan dan konsistensi pemikirannya, Levi-Strauss mampu menghadirkan suatu pemahaman yang baru mengenai berbagai kajian. Dari pemikiran-pemikirannya tersebut, Levi-Strauss semakin diakui dan dikagumi oleh para ilmuwan sosial-budaya di dunia barat, dan bahkan banyak diantaranya yang terpengaruh pada pemikiran Levi-Strauss.
Kepopuleran Levi-Strauss sebagai ilmuwan berbagai bidang disiplin ilmu ini, ternyata untuk konteks Indonesia tidak terlalu menarik dan tidak mudah untuk dipahami bagi kalangan ilmuwan sosial budaya di Indonesia. Hal ini menjadi sangat ironis bagi perkembangan keilmuan sosial budaya di Indonesia. Sosok Levi-Strauss yang telah melahirkan pemikiran-pemikiran baru mengenai kajian sosial-budaya dan melalui pemikirannya tersebut telah banyak mempengaruhi para ilmuwan barat, untuk konteks Indonesia sendiri ternyata masih sangat asing dan sangat susah untuk dipahami.
Atas dasar tersebut Heddy Shri Ahimsa melalui buku ini bermaksud memberanikan dirinya untuk sedikit memberikan pemahaman mengenai dasar-dasar paradigma strukturalisme dari Levi-Strauss dan beberapa gagasan-gagasan besar dari Levi-Strauss yang sangat berpengaruh dalam dunia sosial-budaya khususnya pada bidang antropologi.
Kemudian, dalam pendahuluan sub bab riwayat hidup Levi-Strauss. Heddy, memaparkan bagaimana perjalanan hidup Levi-Strauss dari semenjak lahir, keluarganya hingga riwayat keilmuannya. Levi-Strauss mempunyai nama lengkap Claude Levi-Strauss, berkebangsaan Prancis keturunan Yahudi. Dia lahir di Brussels, Belgia, pada tanggal 28 November 1905, dari ayah Raymond Levi-Strauss seorang seniman lukis dan Ibu Emma Levy. Pada tahun 1909 orang tua Levi-Strauss pindah ke Paris, Prancis.
Kemudian, dalam pendahuluan sub bab riwayat hidup Levi-Strauss. Heddy, memaparkan bagaimana perjalanan hidup Levi-Strauss dari semenjak lahir, keluarganya hingga riwayat keilmuannya. Levi-Strauss mempunyai nama lengkap Claude Levi-Strauss, berkebangsaan Prancis keturunan Yahudi. Dia lahir di Brussels, Belgia, pada tanggal 28 November 1905, dari ayah Raymond Levi-Strauss seorang seniman lukis dan Ibu Emma Levy. Pada tahun 1909 orang tua Levi-Strauss pindah ke Paris, Prancis.
Di masa mudanya Levi-Strauss lebih suka membaca buku-buku hukum dan filsafat, karena pada tahun 1927 Levi-Strauss masuk di fakultas Hukum Paris dan pada saat yang sama juga belajar filsafat di universitas Sorbonne. Kedua sekolah tersebut dapat diselesaikan dengan memuaskan oleh Levi-Strauss.
Kemudian sejak tahun 1935 saat Levi-Strauss mulai mengajar di Universitas Brazil, Levi-Strauss lebih tertarik terhadap kajian antropologi, terutama mengenai kajian etnologi. Di Brazil ini Levi-Strauss sering sekali mengadakan penelitian terhadap suku-suku pedalaman di Brazil. Dari penelitian-penelitian tersebut telah memberikan kesan yang mendalam terhadap Levi-Strauss dan atas dasar hal itulah yang membuat Levi-Strauss semakin total terhadap kajian antropologi yang akhirnya banyak sekali melahirkan pemikiran-pemikiran brilian tentang antropologi.
Kedua, pada bab ini Heddy Shri Ahimsa menjelaskan mengenai strukturalisme Levi-Strauss. Pada bagian pertama Heddy menjelaskan mengenai bahasa dan kebudayaan, kemudian linguistik struktural, makna struktur dan transformasi serta asumsi dasar.
Menurut Heddy, dalam kajian strukturalisme antropologi, Levi-Strauss banyak menggunakan model linguistik dalam kajiannya. Atas dasar tersebut, Heddy memaparkan mengapa Levi-Strauss banyak menggunakan linguistik sebagai model kajiannya. Dari sini Heddy menjelaskan mengenai pemahaman Levi-Strauss terhadap bahasa, kebudayaan dan linguistik.
Menurut Heddy, dalam kajian strukturalisme antropologi, Levi-Strauss banyak menggunakan model linguistik dalam kajiannya. Atas dasar tersebut, Heddy memaparkan mengapa Levi-Strauss banyak menggunakan linguistik sebagai model kajiannya. Dari sini Heddy menjelaskan mengenai pemahaman Levi-Strauss terhadap bahasa, kebudayaan dan linguistik.
Levi-Strauss memilih model linguistik untuk memahami gejala sosial-budaya. Ini berdasarkan pandangan bahwa bahasa merupakan kondisi dari kebudayaan. Ini dapat berarti dua hal. Pertama, bahasa merupakan kondisi kebudayaan dalam arti diakronis. Maksudnya, bahasa mendahului kebudayaan karena dari bahasalah manusia mengetahui kebudayaannya.
Bahasa menurut Levi-Strauss merupakan kondisi bagi kebudayaan karena material pembentuk bahasa adalah sama jenisnya dengan material pembentuk kebudayaan. Material tersebut adalah relasi-realsi logis, oposisi, korelasi dan lain sebagainya. Dari sudut pandang itu bahasa dapat dikatakan sebagai peletak fondasi bagi terbentuknya berbagai macam struktur yang lebih kompleks, lebih rumit yang sesuai aatu sejajar dengan aspek-aspek atau unsur kebudayaan yang lain.
Bahasa menurut Levi-Strauss merupakan kondisi bagi kebudayaan karena material pembentuk bahasa adalah sama jenisnya dengan material pembentuk kebudayaan. Material tersebut adalah relasi-realsi logis, oposisi, korelasi dan lain sebagainya. Dari sudut pandang itu bahasa dapat dikatakan sebagai peletak fondasi bagi terbentuknya berbagai macam struktur yang lebih kompleks, lebih rumit yang sesuai aatu sejajar dengan aspek-aspek atau unsur kebudayaan yang lain.
Levi-Strauss mengabaikan pertanyaan, “apakah bahasa mempengaruhi kebudayaan, ataukah kebudayaan mempengaruhi bahasa?” Menurutnya, lebih tepat memandang bahasa dan kebudayaan sebagai hasil dari aktivitas yang mirip sama. Namun Levi-Strauss tetap mengingatkan bahwa untuk memahami korelasi antara bahasa dengan kebudayaan, harus memperhatikan tingkat atau level di mana kita mencari korelasi tersebut dan apa yang hendak dikorelasikan. Menurutnya, tidak ada korelasi penuh dan tidak ada korelasi yang sama sekali tak mungkin. “Tugas kita adalah menentukan apa hal-hal tersebut, dan pada tataran apa.” Jadi, jika terjadi semacam korelasi antara bahasa dan kebudayaan, itu bukanlah karena adanya semacam hubungan kausal (sebab-akibat) antara bahasa dan kebudayaan, tetapi karena keduanya merupakan produk dari aktivitas nalar manusia.
Dalam bab ini juga dijelaskan mengenai saran Levi-Strauss kepada para ahli antropologi untuk menggunakan model linguistik dalam menganalisis gejala-gejala sosial-budaya, atau mengambil bahasa sebagai model untuk memahami gejala kebudayaan pada umumnya. Levi-Strauss memandang fenomena sosial budaya, seperti pakaian makanan, mitos, dan sebagainya, seperti gejala kebahasaan, yaitu “kalimat” dan “teks”. Gejala itu mempunyai makna dan menunjukkan adanya pemikiran tertentu. Makna itu juga dihasilkan lewat semacam mekanisme artikulasi. Levi-Strauss menganggap teks naratif seperti mitos, sejajar dengan kalimat. Alasan pertama, teks adalah kesatuan yang bermakna, yang mengekspresikan pemikiran seorang pengarang. Kedua, teks itu diartikulasikan dari bagian-bagian, seperti kalimat diartikulasikan oleh kata yang membentuk kalimat.
Model linguistik yang digunakan sebagai media strukturalisme Levi-Strauss ini, sebagian terpengaruh dari pemikiran Ferdinand de Saussure seorang pakar bahasa dari Swiss. Menurut Heddy Shri Ahimsa setidaknya terdapat lima pandangan dari de Saussure yang menjadi dasar dari strukturalisme Levi-Strauss, yakni pandangan tentang (1) Signified (tinanda) dan signifier (penanda), (2) form (bentuk) dan content (isi), (3) langue (bahasa) dan parole (ujaran/tuturan), (4) synchronic (sinkronis) dan diachronic (diakronis), (5) syntagmatic (sintagmatik) dan associative (paradigmatik).
Ketiga, dalam bab ketiga ini Heddy Shri Ahimsa mengupas mengenai Levi-Strauss dan mitos. Di dalamnya menerangkan tentang mitos dan nalar manusia, mitos dan bahasa, mitos dan musik serta analisis struktural mitos : metode dan prosedur.
Heddy Shri Ahimsa menjelaskan bahwa Levi-Strauss menganalisis ratusan mitos dari benua Amerika dengan menggunakan model linguistik. Ia menguraikan dengan mendalam ciri-ciri bahasa yang dianggapnya sama dengan mitos. Dengan demikian, ia menyodorkan pembenaran untuk menggunakan metode analisi strukturnya. Beberapa persamaan yang dikemukakan Levi-Strauss. Pertama, bahasa adalah sebuah media, sarana untuk berkomunikasi menyampaikan pesan kepada orang lain. Demikian juga dengan mitos, mengandung pesan yang disampaikan melalui bahasa. Kedua, Levi-Strauss melihat mitos memiliki aspek langue dan parole. Bahasa sebagai langue berada dalam waktu yang dapat berbalik (reversible time), karena terlepas dalam perangkap waktu yang diakronis, beda dengan parole yang non-reversible time. Mitos menurut Levi-Strauss juga berada dalam dua waktu sekaligus, waktu yang bisa berbalik dan waktu yang tidak bisa berbalik. Contohnya, mitos selalu menggunakan kata, “konon dahulu kala”.
Heddy Shri Ahimsa menjelaskan bahwa Levi-Strauss menganalisis ratusan mitos dari benua Amerika dengan menggunakan model linguistik. Ia menguraikan dengan mendalam ciri-ciri bahasa yang dianggapnya sama dengan mitos. Dengan demikian, ia menyodorkan pembenaran untuk menggunakan metode analisi strukturnya. Beberapa persamaan yang dikemukakan Levi-Strauss. Pertama, bahasa adalah sebuah media, sarana untuk berkomunikasi menyampaikan pesan kepada orang lain. Demikian juga dengan mitos, mengandung pesan yang disampaikan melalui bahasa. Kedua, Levi-Strauss melihat mitos memiliki aspek langue dan parole. Bahasa sebagai langue berada dalam waktu yang dapat berbalik (reversible time), karena terlepas dalam perangkap waktu yang diakronis, beda dengan parole yang non-reversible time. Mitos menurut Levi-Strauss juga berada dalam dua waktu sekaligus, waktu yang bisa berbalik dan waktu yang tidak bisa berbalik. Contohnya, mitos selalu menggunakan kata, “konon dahulu kala”.
Selain persamaan dengan bahasa, mitos juga memiliki perbedaan. Kalau bahasa memiliki sisi sinkronis dan diakronis –yang harus dipisahkan dalam analisis— maka mitos memiliki sisi sinkronis, diakronis, dan pankronis (sinkronis dan diakronis sekaligus yang menyatu). Mitos dengan demikian memiliki struktur ganda, historis dan ahistoris sekaligus.
Selain dengan bahasa Levi-Strauss juga melihat persamaan mitos dengan musik.seperti istilah-istilah yang disampaikan Levi-Strauss tentang kemiripan antara mitos dengan musik adalah : interlude, rondo, sonata, symphony, movement, fugue, dan sebagainya. Menurut Levi-Strausspersamaan mitos dengan musik terletak pada cara kerjanya. Dia mengatakan bahwa mitologi menempati "an intermediary position between two diametically opposed types of sign system, musical language on the one hand and articulate speech on the other". Oleh karena itu, untuk dapat memahaminya, mitos perlu dipelajari dari dua perspektif ini, yakni perspektif bahasa tutur dan bahasa musik.
Selain dengan bahasa Levi-Strauss juga melihat persamaan mitos dengan musik.seperti istilah-istilah yang disampaikan Levi-Strauss tentang kemiripan antara mitos dengan musik adalah : interlude, rondo, sonata, symphony, movement, fugue, dan sebagainya. Menurut Levi-Strausspersamaan mitos dengan musik terletak pada cara kerjanya. Dia mengatakan bahwa mitologi menempati "an intermediary position between two diametically opposed types of sign system, musical language on the one hand and articulate speech on the other". Oleh karena itu, untuk dapat memahaminya, mitos perlu dipelajari dari dua perspektif ini, yakni perspektif bahasa tutur dan bahasa musik.
Keempat, dalam bab keempat ini Heddy Shri Ahimsa menerangkan mengenai Levi-Strauss dan analisis struktural dengan penjabaran terkait dengan kisah Oedipus, kisah si Asdiwal dan mitos-mitos tentang Indian Amerika.
Pertama mengenai analisis struktural Levi-Strauss dikaitkan dengan kisah Oedipus yang merupakan kisah yang berasal dari Yunani Kuno. Dalam penjabaran buku ini dijelaskan mengenai perjalanan Oedipus sebagai sosok utama dalam kisah Oedipus. Levi-Straussmenganalisa kisah Oedipus menganggap bahwa setiap mitos bisa dipenggal menjadi segmen-segmen atau peristiwa-peristiwa, dan setiap orang yang mengetahui mitos tersebut sependapat dengan segmen atau peristiwa tersebut. Dari sejumlah kisah Oedipus tersebut Levi-Strauss menemukan sejumlah segmen/miteme. Yang kemudian setelah ditemuikan miteme tersebut disusun oleh Levi-Strauss secara sintagmatis dan paradigmatis.
Sedangkan mengenai analisa Levi-Strauss terhadap kisah si Asdiwal, Levi-Strauss melihat bahwa dalam kisah ini terdapat beberapa tataran (order) fakta, yakni diantaranya mengenai pete fisik dan politik negeri yang terdapat dalam kisah tersebut. Kemudian terdapat gambaran kehidupan ekonomi masyarakat dalam kisah tersebut. Di samp[ing juga terdapat di dalamnya mengenai organisasi-organisasi sosial dan keluarga serta kosmologi masyarakat yang terdapat didalam kisah tersebut.
Dari situ kita bisa melihat bahwa Levi-Strauss mampu menganalisis secara detail tataran yang ada dalam kisah tersebut, yang semuanya ditujukan untuk menyingkap struktur-struktur tertentu dalam kisah tersebut.
Paparan mengenai analisas Levi-Strauss terhadap kisah-kisah di atas, semuanya hampir sama diberlakukan pada kisah-kisah yang dipaparkan dalam bab ini, walaupun ada beberapa analisa yang berbeda dalam setiap kisah yang ada.
Paparan mengenai analisas Levi-Strauss terhadap kisah-kisah di atas, semuanya hampir sama diberlakukan pada kisah-kisah yang dipaparkan dalam bab ini, walaupun ada beberapa analisa yang berbeda dalam setiap kisah yang ada.
Kelima, dalam bab kelima buku ini menerangkan mengenai analisis struktural dongeng Bajo. Sebelum memasuki penjabaran dongeng Bajo, Heddy Shri Ahimsa sedikit memaparkan mengenai mitologi yang terdapat pada masyarakat Indonesia. Setelah itu Heddy Shri Ahimsa dalam buku ini berupaya untuk bisa mengaplikasikan teori-teori strukturalisme Levi-Strauss dalam konteks Indonesia.
Memang ada beberapa kontradiksi mengenai mitos orang Bajo, Pitoto’ Si Muhamma’ dalam buku ini. Misalnya, bagaimana menjawab pertanyaan, “berasal dari manakah tepatnya budaya darat yang mempengaruhi mitos Pitoto’ Si Muhamma’ dalam dongeng Bajo?.
Dari isi mitos, dapat dikatakan kalau mitos ini dipengaruhi budaya Bugis atau Makassar, tapi tak dijelaskan secara tepat. Penjelasan mengenai tempat itu menjadi penting disebabkan pola hidup orang Bajo yang selalu berpindah. Sehingga, tafsir atas mitos-mitos orang Bajo –yang serupa Pitoto’ Si Muhamma’ yang berisi dilema pilihan Laut dan Darat— selalu tergantung budaya Darat yang mempengaruhinya.
Dari isi mitos, dapat dikatakan kalau mitos ini dipengaruhi budaya Bugis atau Makassar, tapi tak dijelaskan secara tepat. Penjelasan mengenai tempat itu menjadi penting disebabkan pola hidup orang Bajo yang selalu berpindah. Sehingga, tafsir atas mitos-mitos orang Bajo –yang serupa Pitoto’ Si Muhamma’ yang berisi dilema pilihan Laut dan Darat— selalu tergantung budaya Darat yang mempengaruhinya.
Kalau jawabannya adalah: “tafsir itu pasti berbeda berdasarkan latar belakang budaya darat-nya”, maka akan muncul masalah baru. Sebab, mitos Pitoto’ Si Muhamma’ boleh jadi bukanlah milik orang Bajo, tapi mitos tentang orang Bajo yang merupakan milik masyarakat Darat yang disinggahi orang Bajo.
Dalam melakukan analisa struktural dongeng Bajo ini Heddy Shri Ahimsa sedikit berbeda dengan model Levi-Strauss. Heddy Shri Ahimsa lebih condong menggunakan model episode-episode dalam upaya memaparkan struktur dari cerita orang Bajo tersebut.
Keenam, dalam bab enam Heddy Shri Ahimsa berupaya menjelaskan mengenai dongeng dari Umar Kayam sebagai sebuah mitos. Dalam bab ini diberi judul Sri, Sumarah, Bawuk, dan Para Priyayi.
Dalam melakukan analisa struktural dongeng Bajo ini Heddy Shri Ahimsa sedikit berbeda dengan model Levi-Strauss. Heddy Shri Ahimsa lebih condong menggunakan model episode-episode dalam upaya memaparkan struktur dari cerita orang Bajo tersebut.
Keenam, dalam bab enam Heddy Shri Ahimsa berupaya menjelaskan mengenai dongeng dari Umar Kayam sebagai sebuah mitos. Dalam bab ini diberi judul Sri, Sumarah, Bawuk, dan Para Priyayi.
Heddy mencoba menunjukkan bagaimana kita dapat menerapkan analisis struktural Levi-Strauss pada tiga buah karya sastra Umar Kayam. Pada tiga dongeng Umar Kayam tersebut Heddy melakukan kajian yang berbeda dengan kajiannya saat menjabarkan dongeng Bajo. Pada kajian Umar Kayam ini Heddy menggabungkan analisis struktural Levi-Strauss dengan teori hermeunetik dari Clifford Geertz.
Dalam cerita Umar Kayam ini, hal-hal yang ingin ditonjolkan oleh Umar Kayam adalah cerita mengenai kehidupan orang-orang PKI di lingkungan masyarakatnya. Umar Kayam ingin menjabarkan mengenai siapa yang menjadi korban dan siapa yang tidak menjadi korban pada saat terjadinya gerakan anti PKI.
Dalam cerita Umar Kayam ini, hal-hal yang ingin ditonjolkan oleh Umar Kayam adalah cerita mengenai kehidupan orang-orang PKI di lingkungan masyarakatnya. Umar Kayam ingin menjabarkan mengenai siapa yang menjadi korban dan siapa yang tidak menjadi korban pada saat terjadinya gerakan anti PKI.
Kesimpulan dalam analisa ini adalah bahwa apa yang hendak disampaikan oleh Umar Kayam dalam ceritanya itu adalah mengenai nalar dari orang-orang yang dijadikan objek ceritanya yakni, Sri Sumarah, Tun, Bawuk dan objek-objek lainnya yang tidak lain adalah merupakan gambaran dari pola hidup masyarakat Jawa yang lebih condong pada sistem kawula-gusti, trimo ing pandum dan terjadinya sebuah hierarki sosial pada tiap-tiap levelnya.
Ketujuh, dalam bab ketujuh ini, Heddy Shri Ahimsa berusaha memaparkan mengenai sosok kehidupan Priyayi Jawa. Dalam tulisannya ini Heddy mengangkat dua tokoh utama yakni Sastrodarsono dan Lantip sel;aku tokoh dalam cerita Para Priyayi, di mana keduanya merupakan sosok-sosok yang mewakili dari dua kelas yang berbeda, yang satu priyayi dan yang satunya bukan priyayi.
Ketujuh, dalam bab ketujuh ini, Heddy Shri Ahimsa berusaha memaparkan mengenai sosok kehidupan Priyayi Jawa. Dalam tulisannya ini Heddy mengangkat dua tokoh utama yakni Sastrodarsono dan Lantip sel;aku tokoh dalam cerita Para Priyayi, di mana keduanya merupakan sosok-sosok yang mewakili dari dua kelas yang berbeda, yang satu priyayi dan yang satunya bukan priyayi.
Heddy juga menuturkan mengenai struktur priyayi dalam bab ini. Bagi Heddy struktur seorang priyayi mesti harus melalui tiga unsur utama. Tiga unsur utama itu adalah Bebet, Bibit, Bobo, yang kemudian bisa dijadikan sebagai ukuran status sosial seseorang. Di samping itu dijelaskan pula mengenai dialektika dalam struktur priyayi. Heddy menganalisanya sebagai imodel Levi-Strauss yang condong kepada pemahaman Hegel tentang dialektika. Dialektika dalam struktur priyayi dalam cerita Para Priyayi ini digambarkan melalui Ndoro Seten Kedungsimo sebagai tesis, kemudian muncul tokoh Atmokasan sebagai anti tesis, dan setelah itu ditengahi oleh Soedarsono sebagai sintesis.
Kedelapan, dalam bab delapan ini dijelaskan mengenai mitos dan sinkretisasi Islam di Jawa. Sinkretisme dalam bab ini mencakup pemahaman keagamaan orang Jawa terhadp Islam sebagai agama yang berasal dari Arab.
Kedelapan, dalam bab delapan ini dijelaskan mengenai mitos dan sinkretisasi Islam di Jawa. Sinkretisme dalam bab ini mencakup pemahaman keagamaan orang Jawa terhadp Islam sebagai agama yang berasal dari Arab.
Dalam bab ini dijelaskan oleh Heddy Shri Ahimsa mengenai perbedaan hasil penelitian yang dilakukan oleh Jay, Geertz dan Woodward mengenai Islam di Jawa. Bagi Heddy hal tersebut wajar karena satu sisi mereka tidak begitu mendalam memahami kultur Jawa, juga lokasi penelitian mereka berbeda-beda. Dari sebab itu setidaknya bisa diambil kesimpulan tentang majemuknya masyarakat Jawa dalam hubungannya dengan tradisi keagamaan.
Dalam masyarakat Jawa terdapat beberpa hal yang itu bisa dikaitkan dengan unsur sinkretisme agama. Seperti tradisi menyatukan nasab (geneologis) para Raja-Raja Jawa/Pangeran Jawa yang mesti bermuara pada Nabi Islam dan Dewa-dewa Hindu. Kemudian mitos mengenai Ratu Kidul dengan Raja Mataram selaku Khalifatullah ing Tanah Jawi, yang memang kedua hal tersebut berbau sinkretis. Di mana pencampuran unsur Islam dengan nilai Jawanya sangat kental. Nabi dan Raja Mataram Khalifatullah ing Tanah Jawi merupakan mewakili nilai Islam, sedangkan Dewa Hindu dan Ratu kidul mewakili nila Jawa-Hindu.
Di samping hal-hal di atas, orang Jawa juga sangat mengagumi sosok tokoh Sunan Kalijaga. Karena bagi orang Jawa, sosok Sunan Kalijag merupakan bisa mewakili atau menjadi representasi bagi keagamaan orang Jawa. Sunan Kalijaga adalah sosok Waliyullah (Islam) yang juga bisa menjadi Dalang, Sinden, Paranormal, dan sebagainya yang merupakan mewakili simbol dari nilai-nilai Jawa.
Di samping hal-hal di atas, orang Jawa juga sangat mengagumi sosok tokoh Sunan Kalijaga. Karena bagi orang Jawa, sosok Sunan Kalijag merupakan bisa mewakili atau menjadi representasi bagi keagamaan orang Jawa. Sunan Kalijaga adalah sosok Waliyullah (Islam) yang juga bisa menjadi Dalang, Sinden, Paranormal, dan sebagainya yang merupakan mewakili simbol dari nilai-nilai Jawa.
Kesembilan, Dalam bab sembilan ini, Heddy Shri Ahimsa menjelaskan mengenai Sawerigading, Dewi Sri, Larangan Incest dan Kekuasaan. Di mana di dalamnya banyak menerangkan mengenai sistem perkawinan dan kekuasaan.
Banyak antropolog maupun sosiolog, terutama dari Sulawesi Selatan, menuliskan suku Bugis dan Makassar secara bergabung, Bugis-Makassar. Tak pernah, setidaknya saya, menemukan penjelasan mengapa mereka melakukan itu. Padahal suku Bugis dan Makassar adalah dua suku yang berbeda. Keduanya memiliki bahasa dan adat istiadat yang jelas tidak sama.
Kalau boleh menduga, cara penulisan seperti itu, yang dulu banyak dilakukan Mattulada, disebabkan pengaruh kuat politik Orde Baru. Ketika Orde Baru berkuasa, politik persatuan dan kesatuan bangsa cenderung dipaksakan. Sehingga suku Bugis dan Makassar yang berdekatan secara geografis sekaligus banyak berinteraksi, ditulis menjadi satu. Dugaan lain, pertimbangan rasa atau “etik”. Merasa tak enak bila menulis Bugis tanpa mengikutkan Makassar atau sebaliknya. Lainnya, penyatuan itu memang disebabkan keterbatasan antropolog atau sosiolog di masa itu. Sebab, kalau orang Bugis atau Makassar yang paling awam sekalipun, bisa mengidentifikasi diri mereka sebagai orang Bugis atau Makassar, mestinya ilmuwan lebih bisa melakukannya.
Walau mungkin bukan kekeliruan, penggabungan itu kemudian juga berdampak pada dibaurnya istilah-istilah Bugis dan Makasar dalam penelitian antropolog atau sosiolog. Dalam buku Heddy Shri Ahimsa ini, istilah Bugis seperti assialang marola, assialanna memeng, maupun ripaddeppe mabelae, bercampur dengan istilah Makassar seperti sampo sikali, sampo pinruan, dan sampo pintallu. Kesemua istilah itu berbeda dalam kedua bahasa di atas, sampo sikali, sampo pinruang, dan sampo pintallu, dalam bahasa Bugis adalah sappo wekkasiseng, sappo wekkadua, sappo wekkatellu.
Kalau boleh menduga, cara penulisan seperti itu, yang dulu banyak dilakukan Mattulada, disebabkan pengaruh kuat politik Orde Baru. Ketika Orde Baru berkuasa, politik persatuan dan kesatuan bangsa cenderung dipaksakan. Sehingga suku Bugis dan Makassar yang berdekatan secara geografis sekaligus banyak berinteraksi, ditulis menjadi satu. Dugaan lain, pertimbangan rasa atau “etik”. Merasa tak enak bila menulis Bugis tanpa mengikutkan Makassar atau sebaliknya. Lainnya, penyatuan itu memang disebabkan keterbatasan antropolog atau sosiolog di masa itu. Sebab, kalau orang Bugis atau Makassar yang paling awam sekalipun, bisa mengidentifikasi diri mereka sebagai orang Bugis atau Makassar, mestinya ilmuwan lebih bisa melakukannya.
Walau mungkin bukan kekeliruan, penggabungan itu kemudian juga berdampak pada dibaurnya istilah-istilah Bugis dan Makasar dalam penelitian antropolog atau sosiolog. Dalam buku Heddy Shri Ahimsa ini, istilah Bugis seperti assialang marola, assialanna memeng, maupun ripaddeppe mabelae, bercampur dengan istilah Makassar seperti sampo sikali, sampo pinruan, dan sampo pintallu. Kesemua istilah itu berbeda dalam kedua bahasa di atas, sampo sikali, sampo pinruang, dan sampo pintallu, dalam bahasa Bugis adalah sappo wekkasiseng, sappo wekkadua, sappo wekkatellu.
Penggabungan itu juga dapat mengaburkan hasil penelitian tentang Bugis dan Makassar. Penelitian TH Chabot –yang dijadikan acuan dalam buku ini— tentang pelaksanaan perkawinan ideal di Bontoramba yang Makassar, apakah benar dapat diterapkan untuk mendukung pendapat tentang perkawinan ideal di Bugis? Dalam masyarakat Bugis, pembagian perkawinan ideal berdasarkan darah keturunan yang digambarkan Mattulada lebih mengacu ke kalangan bangsawan tinggi atau turunan datuk, bukan masyarakat Bugis kebanyakan.
Dalam kebanyakan masyarakat Bugis, di mana pernikahan tidak bermotif kekuasaan, tapi bertujuan “selamat dan sejahtera”, ada istilah sienrekeng dalle’. Istilah itu ditujukan kepada pasangan yang kalau dinikahkan, dipercaya akan saling “menaikkan” rejeki bagi keduanya. Syarat pasangan ini adalah: si perempuan merupakan anak bungsu dalam keluarganya dan si laki-laki adalah anak sulung dalam keluarganya.
Dalam kebanyakan masyarakat Bugis, di mana pernikahan tidak bermotif kekuasaan, tapi bertujuan “selamat dan sejahtera”, ada istilah sienrekeng dalle’. Istilah itu ditujukan kepada pasangan yang kalau dinikahkan, dipercaya akan saling “menaikkan” rejeki bagi keduanya. Syarat pasangan ini adalah: si perempuan merupakan anak bungsu dalam keluarganya dan si laki-laki adalah anak sulung dalam keluarganya.
Berbeda dengan kawin ideal dengan sepupu sekali di kalangan bangsawan tinggi, semisal para datuk untuk mempertahankan garis kebangsawanannya. Kebanyakan orang Bugis justru memandang menikah dengan sepupu sekali tidak akan mendatang rejeki. Sementara sienrekeng dalle’ merupakan hal yang penting bagi orang Bugis yang cenderung memandang kehormatan dari jumlah harta yang dimiliki.
Penutup, demikian sedikit uraian mengenai apa yang telah ditulis oleh Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra dalam bukunya Strukturalisme Levi-Strauss Mitos dan Karya. Setidaknya ada beberapa hal-hal baru yang hendak disampaikan oleh Heddy Shri Ahimsa dalam bukunya tersebut, sebagai upaya beliau untuk memberikan sumbangsihnya bagi perkembangan kajain sosial-budaya di Indonesia.
Penutup, demikian sedikit uraian mengenai apa yang telah ditulis oleh Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra dalam bukunya Strukturalisme Levi-Strauss Mitos dan Karya. Setidaknya ada beberapa hal-hal baru yang hendak disampaikan oleh Heddy Shri Ahimsa dalam bukunya tersebut, sebagai upaya beliau untuk memberikan sumbangsihnya bagi perkembangan kajain sosial-budaya di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar